Before the Coffee Gets Cold (Funiculi Funicula) by Toshikazu Kawaguchi | Book Review

Before the Coffee Gets Cold by Toshikazu Kawaguchi is a heartwarming tale set in a cozy café with a touch of magic. The story revolves around a small café where customers have the extraordinary ability to travel back in time by sitting in a particular seat and sipping their coffee before it gets cold. This unique concept provides characters with the chance to confront their past regrets and unresolved emotions.

Throughout the book, various characters visit the café, each with their own poignant story. As they journey to the past, they grapple with personal dilemmas, relationships left unfinished, and the deep emotions they've buried over time. The café becomes a space of solace and reflection, allowing characters to mend broken connections and find closure.

(Before the Coffee Gets Cold oleh Toshikazu Kawaguchi adalah kisah heartwarming yang bertempat di sebuah kafe yang nyaman dengan sentuhan keajaiban. Ceritanya mengenai sebuah kafe kecil di mana pelanggan diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan kembali ke masa lalu dengan duduk di kursi tertentu dan menyeruput kopi mereka sebelum menjadi dingin. Konsep unik ini memberi karakter kesempatan untuk menghadapi penyesalan masa lalu dan emosi yang belum terselesaikan.

Di sepanjang buku, berbagai karakter mengunjungi kafe, masing-masing dengan kisah pedihnya sendiri. Saat mereka melakukan perjalanan ke masa lalu, mereka berjuang dengan dilema pribadi, hubungan yang belum selesai, dan emosi mendalam yang mereka pendam seiring waktu. Kafe menjadi ruang pelipur lara dan refleksi, yang memungkinkan karakter untuk memperbaiki koneksi yang rusak dan menemukan penyelesaian)

BOOK INFORMATION

Title                       : Before the Coffee Gets Cold

Japanese title       : コーヒーが冷めないうちに

Author                  : Toshikazu Kawaguchi

Translator            : Geoffrey Trousselot

Publisher             : Hanover Square Press

Language             : English

Length                  : 227 pages

Released              : November 17, 2020

Read                     : July 20 - August 3, 2021

GR Rating            : 3.72

My rating            : 3.50

BOOK REVIEW

Before the Coffee Gets Cold by Toshikazu Kawaguchi is an exploration of human emotions and the intricacies of time travel, all wrapped up in a cozy café setting. At its core, the book delves into the profound theme of regrets and the universal desire for second chances. Through a touch of magical realism, characters are granted the unique ability to travel back in time, confronting the decisions that have haunted them. This exploration offers readers a poignant reflection on the paths not taken and the deep longings that persist within us.

As the characters venture into the past, the narrative unravels the tangled threads of relationships and unfinished business. The stories intertwine and intersect, revealing the complexity of human connections. The book unearths the emotions we often bury beneath the surface, providing a cathartic journey for both characters and readers alike. Each encounter at the café becomes a mirror for our own experiences, prompting introspection on the emotional baggage we carry and the unspoken words that define our lives.

Amidst the book's introspective narrative lies a powerful reminder: the importance of seizing the moment and cherishing the present. The café's limited time travel rules serve as a metaphor for life's fleeting nature, encouraging readers to embrace opportunities before they slip away. Through the characters' struggles and revelations, the narrative reinforces the value of living fully in the here and now.

The themes of forgiveness and reconciliation form another profound layer of the story. As characters revisit their pasts, they are confronted with the weight of grudges and misunderstandings. Through these experiences, the book underscores the transformative power of forgiveness—both for oneself and others. The act of forgiving becomes a path to healing, demonstrating that letting go of resentment can open the door to unexpected growth.

Before the Coffee Gets Cold beautifully showcases the concept of finding closure and healing through the act of confronting the past. The café becomes a space where characters can address unresolved issues and come to terms with the decisions they once regretted. This message resonates deeply, inviting readers to consider their own journeys of self-discovery and healing.

Within the pages of the book, the characters' diverse experiences remind us that everyone carries their own burdens. The narrative emphasizes empathy and understanding, encouraging readers to approach others with compassion, as we can never truly know the extent of their struggles. This recognition of shared human complexity adds depth to the story's emotional resonance.

(Before the Coffee Gets Cold oleh Toshikazu Kawaguchi adalah eksplorasi emosi manusia dan seluk-beluk perjalanan waktu, yang semuanya terbungkus dalam suasana kafe yang nyaman. Pada intinya, buku ini menggali tema penyesalan yang mendalam dan keinginan universal untuk mendapatkan kesempatan kedua. Melalui sentuhan realisme magis, karakter diberikan kemampuan unik untuk melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, menghadapi keputusan yang menghantui mereka. Eksplorasi ini menawarkan refleksi yang tajam kepada pembaca tentang keputusan yang tidak sempat diambil dan kerinduan mendalam yang bertahan dalam diri kita.

Saat karakter menjelajah ke masa lalu, kisahnya mengurai jalinan hubungan yang kusut dan urusan yang belum selesai. Kisah-kisah itu terjalin dan bersinggungan, yang mengungkapkan kompleksitas hubungan manusia. Buku ini menggali emosi yang sering kita kubur di bawah permukaan, memberikan perjalanan katarsis baik untuk karakter maupun pembaca. Setiap perjumpaan di kafe menjadi cermin bagi pengalaman kita masing-masing, yang mendorong introspeksi diri atas beban emosional yang kita bawa dan kata-kata tak terucapkan yang menentukan hidup kita.

Di tengah narasi introspektif buku ini terdapat pengingat yang kuat: pentingnya memanfaatkan momen dan menghargai saat ini. Aturan kafe untuk perjalanan waktu yang terbatas berfungsi sebagai metafora untuk sifat kehidupan yang cepat berlalu, mendorong pembaca untuk merangkul peluang sebelum mereka pergi. Melalui perjuangan dan pengungkapan karakter, narasi memperkuat makna hidup sepenuhnya di sini dan saat ini.

Tema pengampunan dan rekonsiliasi membentuk lapisan cerita yang mendalam. Saat karakter meninjau kembali masa lalu mereka, mereka dihadapkan pada beban dendam dan kesalahpahaman. Melalui pengalaman-pengalaman ini, buku ini menggarisbawahi kekuatan transformatif dari sikap memaafkan—baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan memaafkan menjadi jalan menuju penyembuhan, yang menunjukkan bahwa melepaskan kebencian dapat membuka pintu menuju pertumbuhan yang tak terduga.

Before the Coffee Gets Cold dengan indah menampilkan konsep menemukan penyelesaian dan penyembuhan melalui tindakan menghadapi masa lalu. Kafe menjadi ruang di mana karakter dapat mengatasi masalah yang belum terselesaikan dan berdamai dengan keputusan yang pernah mereka sesali. Pesan ini beresonansi secara mendalam, mengundang para pembaca untuk mempertimbangkan perjalanan penemuan dan penyembuhan diri mereka sendiri.

Di dalam halaman-halaman buku, beragam pengalaman para tokoh mengingatkan kita bahwa setiap orang memikul bebannya masing-masing. Narasinya menekankan empati dan pengertian, mendorong pembaca untuk menghadapi orang lain dengan kasih sayang, karena kita tidak pernah bisa benar-benar mengetahui sejauh mana perjuangan mereka. Pengakuan atas kompleksitas manusia ini menambah kedalaman resonansi emosional cerita.)

THINGS I LIKE

■The café setting stands as a comforting haven despite the weighty themes the book addresses. The café becomes a place of solace, where characters can embark on emotional journeys while enveloped in a soothing atmosphere. This blend of serious themes and a cozy setting creates a harmonious contrast that draws you into the story's world, making it an inviting space to explore the deeper reflections of the characters.

■Unique approach to the concept of time travel. Unlike other books that often focus on altering history or unraveling paradoxes, Before the Coffee Gets Cold takes a refreshingly different path. The time travel here is intricately linked to the café itself, and it's not about changing the past in monumental ways. Instead, it's a nuanced exploration of personal regrets and the desire for second chances.

■The method of time travel itself is as distinctive as it is interesting. The café's rules—sitting at a particular seat, drinking the coffee before it gets cold—lend a touch of enchantment to the process. It's not about complex machines or intricate spells, but about a simple, everyday act that becomes a portal to the past. This uniqueness adds a layer of charm and intrigue to the story, making the time travel element more accessible and relatable to readers.

(■Pengaturan kafe berdiri sebagai tempat yang nyaman meskipun ada tema-tema berat yang dibahas buku ini. Kafe menjadi tempat pelipur lara, di mana karakter dapat memulai perjalanan emosional dengan diselimuti suasana yang menenangkan. Perpaduan antara tema serius dan latar yang nyaman ini menciptakan kontras harmonis yang membawa kita ke dalam cerita, yang menjadikannya ruang yang mengundang untuk menjelajahi karakter yang lebih dalam.

■Pendekatan unik untuk konsep perjalanan waktu. Tidak seperti buku lain yang sering berfokus pada kisah yang mengubah sejarah atau mengungkap paradoks, Before the Coffee Gets Cold mengambil jalan berbeda. Perjalanan waktu di sini terkait erat dengan kafe itu sendiri, dan bukan tentang mengubah masa lalu dengan cara yang menghebohkan. Sebaliknya, ini adalah eksplorasi penyesalan pribadi dan keinginan untuk mendapatkan kesempatan kedua.

■Metode perjalanan waktu itu sendiri sangat unik dan menarik. Aturan kafe — duduk di kursi tertentu, minum kopi sebelum dingin — memberikan daya tarik pada prosesnya. Kisah ini bukan tentang mesin atau mantra yang rumit, tetapi tentang tindakan sederhana sehari-hari yang bisa menjadi portal ke masa lalu. Keunikan ini menambah daya tarik dan intrik pada cerita, yang membuat elemen perjalanan waktu lebih mudah dipahami dan relatable dengan pembaca.)

THINGS I DISLIKE

■The introduction of numerous characters right at the beginning is overwhelming. Instead of a gradual introduction that unfolds as the story progresses, the book seems to frontload the character information, leading to confusion and making it harder to remember each individual. 

■The repetitive explanations of the time travel rules felt tedious. Having the same rules reiterated to different characters who utilize the café's service could create a sense of redundancy and take away from the momentum of the story. 

■The pacing is not have aligned with my preferences. A slower pacing can indeed allow for deeper character exploration and emotional resonance, but if it takes a while for the story to delve into the heart of the time travel concept and its implications, it might lead to a sense of anticipation without immediate payoff. 

(■Pengenalan banyak karakter di awal cukup overwhelming. Alih-alih pengenalan bertahap yang dimunculkan seiring berjalannya cerita, buku ini memuat berbagai informasi karakter di awal, yang menyebabkan kebingungan dan mempersulit pembaca untuk mengingat setiap individu. 

■Penjelasan berulang tentang aturan perjalanan waktu terasa membosankan. Aturan yang sama yang diulangi pada karakter berbeda yang menggunakan layanan kafe ini menciptakan kesan redundansi dan menghilangkan momentum cerita. 

■Pacing buku kurang cocok dengan preferensi. Kecepatan yang lebih lambat memang memungkinkan eksplorasi karakter yang lebih dalam dan resonansi emosional, tetapi jika cerita membutuhkan waktu lama untuk menggali inti dari konsep perjalanan waktu dan implikasinya, hal ini bisa mengarah pada perasaan penasaran yang tidak langung terjawab.)

CONCLUSION

Before the Coffee Gets Cold by Toshikazu Kawaguchi presents a blend of emotion exploration and cozy café setting. The book explores the depths of human regret and the yearning for second chances. While the introduction of numerous characters at once might have created confusion, a more gradual approach could have made these characters more memorable and relatable. Similarly, the repetition of time travel rules to different characters occasionally detracted from the narrative's flow. Moreover, the book's pacing, while allowing for profound character development, could have offered a quicker entry into the heart of the time travel concept. Despite these points, the story's unique approach to time travel, its comforting café ambiance, and its exploration of forgiveness, personal growth, and life make Before the Coffee Gets Cold a touching and thought-provoking read that resonates with readers seeking a blend of magic and emotional depth.

(Before the Coffee Gets Cold oleh Toshikazu Kawaguchi menghadirkan perpaduan antara kisah emosional dan suasana kafe yang nyaman. Buku ini mengeksplorasi kedalaman penyesalan manusia dan keinginan untuk mendapatkan kesempatan kedua. Meskipun pengenalan banyak karakter sekaligus dapat menimbulkan kebingungan, pendekatan yang lebih bertahap dapat membuat para karakter ini lebih mudah diingat dan dapat diterima. Demikian pula, pengulangan aturan perjalanan waktu ke karakter yang berbeda terkadang mengurangi alur narasi. Selain itu, tempo buku, sambil memungkinkan pengembangan karakter yang mendalam, dapat menawarkan jalan masuk yang lebih cepat ke inti konsep perjalanan waktu. Terlepas dari poin-poin ini, pendekatan cerita yang unik untuk perjalanan waktu, suasana kafenya yang nyaman, dan eksplorasi pengampunan, pertumbuhan pribadi, dan kehidupan membuat Before the Coffee Gets Cold menjadi bacaan yang menyentuh dan menggugah pikiran yang beresonansi dengan pembaca yang mencari perpaduan antara kisah ajaib dan kedalaman emosional.)