Stop Judge Ibu! 7 Komentar 'Sepele' yang Bikin Ibu Depresi

stop Judge Ibu hindari komentar toxic



Stop Judge Ibu! 7 Komentar 'Sepele' yang Bikin Ibu Depresi


Setiap hari, seorang ibu dihadapkan pada banyak tuntutan: mengurus rumah, anak, suami, pekerjaan, bahkan diri sendiri. Sayangnya, di tengah semua itu, mereka sering dihakimi hanya dari apa yang terlihat di permukaan.

"Telur ceplok doang buat sarapan?"
"Kok bangun siang? Males ya ibadahnya?"
"Belanja terus, nggak bisa masak sendiri?"

Tanpa tahu alasan di balik tindakan mereka, orang-orang mudah memberi label: malas, boros, payah. Padahal, bisa jadi ada cerita panjang yang tak terlihat.

Artikel ini ingin mengajak kita berhenti sejenak, memahami, dan tidak mudah menghakimi. Karena ibu sudah cukup keras pada dirinya sendiri. Mereka tidak butuh kritik tambahan, tapi empati, bantuan, atau setidaknya momen hening yang lebih baik daripada komentar pedas.


1. "Telur Ceplok Doang? Kamu Nggak Kasihan Anakmu?"

👁️ Yang Terlihat:
Ibu menyajikan telur ceplok untuk sarapan anak.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"Gitu doang? Nggak ada sayur? Tega sama anaknya."

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Ibu sedang sakit, tapi tetap memaksakan diri menyiapkan sarapan.
🔺Anak hanya mau makan telur hari itu, dan ibu memilih pertempuran yang lebih penting (misal: anak mau makan apa pun daripada mogok sarapan).
🔺Ibu baru saja menyelesaikan pekerjaan lembur atau merawat anggota keluarga yang sakit semalaman.

💡Daripada Menghakimi:
"Wah, anaknya suka telur ya? Kebetulan besok aku mau bikin sup telur, kalau mau aku kirimin!"

🍀 Faktanya: 
Telur adalah sumber protein tinggi, kandungannya juga lengkap, seperti vitamin D, B12, riboflavin, choline, selenium, dan zat besi. Satu telur ceplok mengandung 92 kcal, 6.27 g protein, 7,04 g lemak, 0.4 g karbohidrat, dan 68 mg kalium. [1]


2. "Perempuan Kok Bangun Kesiangan?"

👁️ Yang Terlihat:
Perempuan bangun lebih siang dari biasanya.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"Tidurnya nggak berdoa ya?" "Masih muda kok males."

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Dia baru menyelesaikan tugas kantor hingga subuh.
🔺Sedang mengalami gangguan tidur atau kesehatan mental (kecemasan, depresi).
🔺Malamnya harus menjaga anak yang rewel atau orang tua yang sakit.

💡 Daripada Menghakimi:
"Istirahat cukup nggak belakangan ini? Butuh bantuan apa?"


3. "Gofood Terus, Masak Sendiri Lebih Hemat Lho!"

👁️ Yang Terlihat:
Ibu membeli makanan jadi daripada masak.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"Boros banget!" "Masak gitu aja nggak bisa?"

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Anak sedang rewel atau sakit, sehingga ibu tak sempat memasak.
🔺Ibu sedang kelelahan fisik/mental dan butuh break dari rutinitas.
🔺Justru lebih hemat (misal: diskon makanan atau waktu yang terbatas).

💡Daripada Menghakimi:
"Wah, beli di mana? Aku juga kadang butuh beli makanan jadi kalau lagi sibuk."


4. "Kok Lupa Lagi? Kamu Kurang Dzikir Tuh!?"

👁️ Yang Terlihat:
Perempuan lupa mengerjakan sesuatu.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"Pikun muda!" "Ibadahnya kurang tuh!"

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Otaknya penuh dengan to-do list lain (janji dokter, tagihan, kebutuhan anak).
🔺Sedang stres atau overwhelmed.
🔺Memiliki kondisi medis.

💡 Daripada Menghakimi:
"Aku tulis di notes ya biar nggak lupa. Butuh diingatkan nggak?"

🍀 Faktanya:
Beberapa studi menunjukkan bahwa proses kehamilan dan melahirkan menyebabkan perubahan struktur otak seperti berkurangnya gray matter area, gunanya untuk mengoptimalkan respon cepat ibu terhadap bayi. Akibatnya semua hal yang tidak ada kaitannya dengan bayi auto dianggap tidak penting dan mudah dilupakan. Perhatian terhadap bayi > hal-hal lain. [2]


5. "Piring Kotor yang Numpuk Itu Bikin Rejeki Seret Lho!"

👁️ Yang Terlihat:
Piring kotor menumpuk di wastafel.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"Dasar jorok!" "Piring kotor yang numpuk itu manggil setan dan jin!"

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Ibu mengerjakan segudang hal sendirian tanpa bantuan suami/anak/mertua.
🔺Sedang mengalami nyeri menstruasi atau sakit fisik.
🔺Memprioritaskan hal lain (misal: anak yang butuh perhatian).

💡 Daripada Menghakimi:
"Aku bantu cuci ya. Lagi capek hari ini?"


6. "Rumah Berantakan, Ngapain Aja Seharian?"

👁️ Yang Terlihat:
Rumah kotor dan tidak rapi.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"Kerjaannya cuma di rumah kok berantakan!"

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Ada balita yang aktif bermain dan sulit dibereskan.
🔺Merawat lansia yang pikun atau sakit.
🔺Ibu sendiri sedang burnout atau depresi.

💡 Daripada Menghakimi:
"Aku bantu bereskan mainannya ya. Anak-anak lagi aktif ya?"


7. "Wah, Kasian Anaknya Dikasih Sufor!"

👁️ Yang Terlihat:
Ibu memberikan susu formula (sufor) atau memompa ASI ketimbang menyusui langsung.

🗣️ Yang Dikatakan Orang:
"ASI itu yang terbaik, sufor mah isinya bahan kimia doang!"
"Dulu aku bisa, kok kamu nggak?"
"Aduh kok seret sih, kamu doang yang kayak gini, kakak kakakmu lancar semua!”

🔎 Yang Mungkin Terjadi:
🔺Anak menolak menyusu langsung (nipple confusion atau kondisi medis).
🔺ASI sedikit karena faktor hormon, stres, atau kurangnya dukungan, bahkan karena komentar ‘sepele’ dari orang sekitar.
🔺Ibu harus bekerja dengan jam panjang tanpa fasilitas memadai untuk memompa.

🍀 Faktanya:
Penelitian di Selandia Baru menunjukkan:
Tekanan untuk menyusui meningkatkan risiko kecemasan, stres, dan trauma pasca melahirkan. Banyak ibu merasa tertuduh gagal hanya karena kesulitan menyusui, padahal ini dipengaruhi banyak faktor di luar kendali mereka. [3]

💡Daripada Menghakimi:
“Kamu gak sendiri, kalau butuh bantuan, hubungi aku aja.”
Diam, jika tak paham perjuangannya.


“Tapi aku cuma nanya baik-baik, gak menyudutkan.”

Oh, niat kamu mungkin nanya baik-baik atau berkomentar untuk menyemangati, tapi apakah pilihan kata, nada bicara dan timingnya tepat? Yuk kita cek!

Cara Berkomunikasi untuk Memanusiakan Ibu

1. Ganti Kalimat "KOK..." dengan "PASTI..."
❌ "Kok anaknya dikasih sufor?"
✅ "Pasti berat ya memutuskan ini, butuh cerita?"
❌ "Kok rumah berantakan gini?"
✅ "Pasti hari ini melelahkan ya? Aku bantu apa?"

Alasan: Kata "kok" terdengar seperti tuduhan, sementara "pasti" mengakui usahanya.

2. Tanya Kebutuhan, Bukan Kesalahan
❌ "Kenapa nggak masak sendiri?"
✅ "Ada yang bisa aku belikan buat makan malam nanti?"
❌ "Loh, kok lupa lagi sih?"
✅ "Aku catatkan di notes biar nggak kelewat, ya?"

Alasan: Fokus pada solusi, bukan kesalahan.

3. Pakai Kalimat Terbuka (Open-ended)
❌ "Kamu nggak capek ya kerja terus?" (seolah mengharapkan jawaban "iya")
✅ "Bagaimana perasaanmu hari ini?"
❌ "ASI-nya nggak keluar ya?"
✅ "Aku ada waktu kalau mau cerita tentang pengalamanmu."

Alasan: Memberi ruang untuk bercerita tanpa tekanan.

4. Akui Perasaannya dulu
❌ "Ah, masa segitu aja capek?"
✅ "Wajar kok kalau merasa lelah. Aku di sini kalau butuh teman."
❌ "Jangan stres, santai aja!" (minimizing feelings)
✅ "Stres itu manusiawi. Kamu butuh istirahat atau cerita?"

Alasan: Validasi emosi lebih penting daripada nasihat.

5. Tanya Sebelum Memberi Saran
❌ "Harusnya kamu..."
✅ "Aku punya saran, tapi boleh dengar dulu kondisimu?"
❌ "Coba deh cara aku dulu..."
✅ "Kalau mau, aku bisa share pengalamanku. Tertarik?"

Alasan: Menghargai batasan dan otonomi ibu.

6. Contoh Kalimat Empatik Lain
"Aku pengen bantu nih. Butuh bantuan apa hari ini?"
"Aku nggak bisa bayangin sulitnya. Kamu hebat!"
"Aku ada di sini buat dengerin kamu, gak bakal judge."

7. Hindari Pertanyaan yang Terlihat "Netral" Tapi Menghakimi
🚫 "Udah coba semua cara belum?" → Seolah-olah ia belum berusaha.
🚫 "Emang anaknya nggak mau nyusu?" → Meragukan pengalamannya.

8. Hindari Nada Marah atau Tinggi
Meskipun kamu bukan soft-spoken people, gunakan nada yang enak didengar. Jika kamu tidak yakin, kamu bisa rekam suaramu dulu dan coba bandingkan dengan nada orang yang berbicara dengan nada menyenangkan. Jika tidak bisa, mending diam saja, atau kirimkan pesan teks aja.

9. Perhatikan Penggunaan Tanda Baca dan Pilihan Kata
Jangan menggunakan tanda seru saat mengirim pesan teks. Gunakan bahasa yang normal seperti manusia yang punya empati, atau anggap kamu sedang chat ke seseorang yang penting atau dosbing agar nada tetap sopan. Jika tidak bisa, jangan kirim pesan apapun. Kirim uang atau kado lebih baik.

Intinya:
Dengarkan lebih banyak, hakimi lebih sedikit.
Tawarkan bantuan, bukan kritik.

Ingat: Kata-kata yang tampak "receh" bisa seperti pisau bagi ibu yang sudah lelah.

Sometimes the most powerful thing you can say to a struggling mom is: 'I get it. You're not alone.'

Penutup: Mari Lebih Berempati

Ibu sering diharapkan menjadi superwoman: sempurna dalam segala hal, tanpa celah, tanpa keluh kesah. Tapi mereka manusia biasa, dengan energi terbatas, badai hormon, dan tanggung jawab yang tak terlihat. Termasuk dalam urusan menyusui: ASI, sufor, atau kombinasi, itu adalah pilihan ibu yang berhak dihormati. Tubuhnya, usahanya, dan keputusannya adalah miliknya.

Daripada menghakimi:
🔺Tanya, bukan tuduh. "Kamu baik-baik saja?"
🔺Bantu, bukan sindir. "Aku bantu apa?"
🔺Diam, jika tak bisa berkata baik.

Karena setiap perempuan yang terlihat "malas" atau "tidak becus" mungkin sedang berjuang keras di balik layar. Dan sedikit empati bisa menjadi oksigen bagi jiwa yang lelah.

Be kind, for everyone you meet is fighting a battle you know nothing about.

Apa yang bisa kamu lakukan hari ini untuk lebih memahami perempuan di sekitarmu? 💚




Referensi:
1. Telur Ceplok. Kalori dalam Telur Ceplok dan Fakta Gizi. (n.d.). https://www.fatsecret.co.id/kalori-gizi/umum/telur-ceplok 
2. Dörflinger, K. (2025, February 4). How pregnancy reshapes a mum’s brain. ERC. https://erc.europa.eu/projects-statistics/science-stories/how-pregnancy-reshapes-mums-brain 
3. Grattan, R. E., London, S. M., & Bueno, G. E. (2025, May 21). Perceived pressure to breastfeed negatively impacts postpartum mental health outcomes over time. Frontiers. https://www.frontiersin.org/journals/public-health/articles/10.3389/fpubh.2024.1357965/full 


[Last updated 2025]

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.