The School for Good and Evil by Soman Chainani | Book Review

 


The School for Good and Evil follows the unlikely friendship between Sophie, a girl who believes in fairy tale conventions and aspires to be a princess, and Agatha, a girl who is content living on the outskirts of the village. When they are mysteriously whisked away to the School for Good and Evil, their lives take a dramatic turn. Sophie is convinced she's meant for the School for Good, while Agatha, who fears she might belong to the School for Evil, is equally perplexed.

As they navigate the challenges of their new environment, Sophie and Agatha discover that appearances can be deceiving.

(The School for Good and Evil mengikuti persahabatan yang tidak biasa antara Sophie, seorang gadis yang percaya pada dongeng dan bercita-cita menjadi seorang putri, dan Agatha, seorang gadis yang puas hanya dengan tinggal di pinggiran desa. Ketika mereka secara misterius dibawa pergi ke School for Good and Evil, hidup mereka berubah secara dramatis. Sophie yakin dia dimaksudkan untuk Sekolah Kebaikan, sementara Agatha, yang takut dia mungkin masuk Sekolah Kejahatan, sama bingungnya.

Saat mereka mengatasi tantangan di lingkungan baru mereka, Sophie dan Agatha menyadari bahwa penampilan bisa menipu.)

 

BOOK INFORMATION

Title                     : The School for Good and Evil

Author                 : Soman Chainani

Publisher             :

Language             : English

Length                  :

Released               :

Read                     :

GR Rating            :

My rating              : 4.00

 

BOOK REVIEW

The School for Good and Evil by Soman Chainani is a journey that explores themes of friendship, the concept of good and evil, identity, the power of choices, and the discovery that things are not always as simple as they appear.

Friendship emerges as a central force that propels the narrative forward. The strong bond between the protagonists, Sophie and Agatha, challenges traditional fairy tale narratives by foregrounding the importance of friendship over romantic love. The duo's dynamic relationship highlights the transformative impact of genuine connections, and how these connections can guide characters through the most complex challenges.

Diving deep into the concept of good and evil, the book subverts traditional notions by portraying characters who defy stereotypical roles. The story delves into the gray areas of morality, showcasing that individuals possess the potential for both darkness and light within them. This exploration adds depth to the characters and underscores the complexity of the human psyche.

The theme of identity resonates powerfully as characters grapple with finding their true selves in a world that initially categorizes them based on appearances. This journey of self-discovery underscores the importance of embracing one's individuality and resisting societal expectations. It's a reminder that our identity goes beyond external traits and is shaped by our choices and actions.

Soman Chainani's imaginative writing style effortlessly draws readers into the fantastical world he's crafted. With vivid descriptions and rich imagery, he brings to life a universe where magic and reality intertwine seamlessly. His ability to blend fairy tale elements with contemporary issues provides a fresh perspective that is both relevant and engaging.

Lessons gleaned from the book are both poignant and thought-provoking. Looking beyond appearances becomes a vital theme, emphasizing that judgments based on looks are often misleading. The narrative also questions societal norms, urging readers to challenge stereotypes and break free from limiting expectations.

Furthermore, the power of choices resonates throughout the story, revealing that our decisions define our paths and ultimately shape our destinies. Characters learn that taking control of their lives requires making difficult choices and being true to themselves, even when faced with external pressures.

(The School for Good and Evil oleh Soman Chainani adalah sebuah perjalanan yang mengeksplorasi tema persahabatan, konsep baik dan jahat, identitas, kekuatan pilihan, dan kenyataan bahwa segala sesuatu tidak selalu sesederhana kelihatannya.

Persahabatan muncul sebagai kekuatan sentral yang mendorong cerita terus berjalan. Ikatan yang kuat antara protagonis, Sophie dan Agatha, menantang kisah dongeng tradisional dengan mengedepankan pentingnya persahabatan di atas cinta romantis. Hubungan dinamis keduanya menyoroti dampak transformatif dari hubungan, dan bagaimana hubungan ini dapat memandu karakter melalui tantangan yang paling kompleks.

Menyelam jauh ke dalam konsep baik dan jahat, buku ini menumbangkan gagasan tradisional dengan menggambarkan karakter yang menentang peran stereotip. Cerita ini menggali wilayah abu-abu dari moralitas, yang menunjukkan bahwa individu memiliki potensi gelap dan terang di dalam diri mereka. Eksplorasi ini menambah kedalaman karakter dan menggarisbawahi kompleksitas jiwa manusia.

Tema identitas beresonansi dengan kuat saat karakter berjuang untuk menemukan diri mereka yang sebenarnya di dunia yang awalnya mengkategorikan mereka berdasarkan penampilan. Perjalanan penemuan jati diri ini menggarisbawahi pentingnya merangkul individualitas seseorang dan menolak ekspektasi masyarakat. Ini adalah pengingat bahwa identitas kita melampaui ciri-ciri eksternal dan dibentuk oleh pilihan dan tindakan kita.

Gaya penulisan imajinatif Soman Chainani dengan mudah menarik pembaca ke dunia fantastik yang dia buat. Dengan deskripsi yang jelas dan penggambaran yang kaya, ia menghidupkan dunia di mana sihir dan realitas berjalan bersamaan. Kemampuannya untuk memadukan unsur dongeng dengan isu-isu kontemporer memberikan perspektif baru yang relevan dan menarik.

Pelajaran yang diperoleh dari buku ini sangat menyentuh dan menggugah pikiran. Tidak menilai hanya penampilan luar saja menjadi tema vital, yang menekankan bahwa penilaian berdasarkan penampilan seringkali menyesatkan. Kisah ini juga mempertanyakan norma-norma masyarakat, mendesak pembaca untuk menantang stereotip dan membebaskan diri dari ekspektasi yang membatasi.

Selain itu, kekuatan untuk memilih bergema di sepanjang cerita, yang mengungkapkan bahwa keputusan kita menentukan jalan kita dan pada akhirnya membentuk takdir kita. Karakter belajar bahwa mengendalikan hidup mereka membutuhkan pilihan yang sulit dan jujur pada diri mereka sendiri, bahkan ketika menghadapi tekanan eksternal.)

 

THINGS I LIKE

■World-building : The world-building in The School for Good and Evil is creating a rich backdrop for the characters' adventures. The book introduces two distinct schools: The School for Good and The School for Evil. The School for Good is adorned with fairytale aesthetics, pristine grounds, and charming architecture. It exudes an air of purity and goodness. In contrast, The School for Evil is darker, with gothic elements, eerie surroundings, and a foreboding atmosphere. The world is a blend of familiar fairy tale elements and innovative twists. Classic fairy tale characters also make appearances, but often subvert expectations in their roles.

■Challenging the notion that appearance dictates morality : In a world where characters are categorized based on their looks, the series defies this convention by depicting how characters' actions, choices, and intentions are what truly define them. The protagonists, Sophie and Agatha, are placed in schools according to their appearances, yet their growth and actions reveal that inner qualities matter far more than external traits.

■Multi-dimensional characters who defy the limitations of traditional roles : The heroes can exhibit flaws, and villains might possess redeeming qualities. Sophie, often seen as a "beauty," showcases complexities beyond her exterior, while Agatha, a seemingly "evil" character, navigates her own internal struggles. This subversion creates characters that resonate deeply with readers, reflecting the complexity of human nature beyond one-dimensional archetypes.

■Questioning the concept of true love : This book questions whether it solely revolves around romantic attraction. By redefining love beyond the traditional "true love's kiss," the narrative underscores the importance of genuine connections that go beyond superficial appearances.

■Morally ambiguous choices : It pushes back against the notion that characters must be exclusively "good" or "evil." Characters frequently confront morally gray decisions, reflecting the complexity of real-life choices. This subversion adds depth to the narrative, as characters grapple with the consequences of their actions and the impact on their evolving identities.

(■World-building : World-building di The School for Good and Evil menciptakan latar belakang yang kaya untuk petualangan para karakternya. Buku ini memperkenalkan dua sekolah yang berbeda: Sekolah untuk Kebaikan dan Sekolah untuk Kejahatan. School for Good dihiasi dengan estetika dongeng, lahan yang bersih, dan arsitektur menawan. Sekolah ini memancarkan aura kemurnian dan kebaikan. Sebaliknya, The School for Evil lebih gelap, dengan elemen gotik, lingkungan yang menakutkan, dan suasana mencekam. Dunia dalam buku ini adalah perpaduan elemen dongeng yang sudah dikenal dan beberapa perbedaan yang inovatif. Karakter dongeng klasik juga muncul, tetapi seringkali menumbangkan ekspektasi dalam peran mereka.

■Menantang anggapan bahwa penampilan menentukan moralitas : Di dunia di mana karakter dikategorikan berdasarkan penampilan mereka, buku ini menentang konvensi ini dengan menggambarkan bagaimana tindakan, pilihan, dan niat karakter adalah apa yang benar-benar mendefinisikan mereka. Protagonis, Sophie dan Agatha, ditempatkan di sekolah sesuai dengan penampilan mereka, namun pertumbuhan dan tindakan mereka mengungkapkan bahwa kualitas jiwa mereka jauh lebih penting daripada sifat eksternal.

■Karakter multi-dimensi yang menentang batasan peran tradisional : Para hero dapat menunjukkan kekurangan, dan para penjahat mungkin memiliki kualitas yang bisa dimaafkan. Sophie, yang sering dipandang sebagai "kecantikan", menampilkan kerumitan di luar penampilan luarnya, sementara Agatha, karakter yang tampaknya "jahat", menghadapi perjuangan batinnya sendiri. Subversi ini menciptakan karakter yang sangat beresonansi dengan pembaca, yang mencerminkan kompleksitas sifat manusia di luar arketipe satu dimensi.

■Mempertanyakan konsep cinta sejati : Buku ini mempertanyakan apakah hidup hanya tentang ketertarikan romantis. Dengan mendefinisikan kembali cinta di luar "ciuman cinta sejati" tradisional, narasi ini menggarisbawahi pentingnya hubungan tulus yang melampaui penampilan.

■Pilihan yang ambigu secara moral : Buku ini menolak anggapan bahwa karakter harus secara eksklusif "baik" atau "jahat". Karakter sering menghadapi keputusan abu-abu secara moral, yang mencerminkan kompleksitas pilihan kehidupan nyata. Subversi ini menambah kedalaman narasi, saat karakter berjuang dengan konsekuensi tindakan mereka dan dampaknya pada identitas mereka yang berkembang.)

 

CONCLUSION

The School for Good and Evil is an exploration of friendship, morality, identity, and the intricate shades of human nature. Soman Chainani's imaginative storytelling coupled with the book's rich themes and resonant lessons create an unforgettable reading experience that encourages us to see the world in all its complexities. It's a journey that reminds us that while life may not always be black and white, it's the choices we make that add vibrant color to our unique stories.

(The School for Good and Evil adalah eksplorasi tentang persahabatan, moralitas, identitas, dan kerumitan sifat manusia. Penceritaan imajinatif Soman Chainani ditambah dengan tema buku yang kaya dan pelajaran yang beresonansi menciptakan pengalaman membaca yang tak terlupakan yang mendorong kita untuk melihat dunia dalam segala kerumitannya. Ini adalah perjalanan yang mengingatkan kita bahwa meskipun hidup tidak selalu hitam dan putih, pilihan yang kita buat itulah yang menambah warna cerah pada cerita unik kita.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.