One Hundred Years of Solitude by Gabriel García Márquez | Book Review

 


(This book review will be in English and Indonesian, so it's longer than usual. Review buku ini dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, sehingga lebih panjang dari biasanya.)


“Wherever they might be they always remember that the past was a lie, that memory has no return, that every spring gone by could never be recovered, and that the wildest and most tenacious love was an ephemeral truth in the end.”


In the fictional town of Macondo, One Hundred Years of Solitude tells the long story of the Buendía family across 100 years. García Márquez weaves together their happy moments, sad times, and tough fights, making a story that spans many generations and shows how complicated life can be. Extraordinary thing happens like it's normal, with magic mixing in with regular life. Flying carpets, people floating in the air, and strange events happen alongside everyday stuff, making it hard to tell what's real and what's made up. With beautiful writing and exciting tales, García Márquez invites readers to think about loneliness, time's repeating patterns, love's strength, and the heaviness of the past.

(Di kota fiksi Macondo, One Hundred Years of Solitude menceritakan kisah panjang keluarga Buendía selama 100 tahun. García Márquez menyatukan momen-momen bahagia, saat-saat sedih, dan perjuangan berat mereka, menjadikannya sebuah cerita yang menjangkau banyak generasi dan menunjukkan betapa rumitnya kehidupan. Hal luar biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dengan keajaiban bercampur dengan kehidupan biasa. Karpet yang beterbangan, orang-orang yang melayang di udara, dan kejadian-kejadian aneh terjadi bersamaan dengan hal-hal yang biasa kita temukan sehari-hari, sehingga sulit untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan. Dengan tulisan yang indah dan kisah-kisah menarik, García Márquez mengajak pembaca untuk memikirkan tentang kesepian, pola waktu yang berulang, kekuatan cinta, dan beban masa lalu.)

 

BOOK INFORMATION

Title                       : One Hundred Years of Solitude - Seratus Tahun Kesunyian

Author                  : Gabriel García Márquez

Translator            : Djokolelono

Publisher             : Gramedia Pustaka Utama

Language             : Indonesian

Length                  : 483 pages

Published            : 1967 (original); September 10, 2018 (translated version)

Read                      : December 9-31, 2022 (re-read)

GR Rating            : 4.11

My Rating            : 5.00

Where to buy      : griya buku pelangi, or dojobuku (Indonesian edition) 

 

THIS EDITION'S BLURB

"Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendía jadi teringat suatu sore, dulu sekali, ketika diajak ayahnya melihat es. Riuh rendah pipa dan drum panci yang berisik mengiringi kedatangan rombongan Gipsi ke Macondo, desa yang baru didirikan, tempat José Arcadio Buendía dan istrinya yang keras kepala, Úrsula, memulai hidup baru mereka. Ketika Melquíades yang misterius memukau Aureliano Buendía dan ayahnya dengan penemuan-penemuan baru dan kisah-kisah petualangan, mereka tak tahu-menahu arti penting manuskrip yang diberikan lelaki Gipsi tua itu kepada mereka. Kenangan tentang manuskrip itu tersisihkan oleh wabah insomnia, perang saudara, pembalasan dendam, dan hal-hal lain yang menimpa keluarga Buendía turun temurun. Hanya segelintir yang ingat tentang manuskrip itu, dan hanya satu orang yang akan menemukan pesan tersembunyi di dalamnya. One Hundred Years of Solitude atau Seratus Tahun Kesunyian merupakan sebuah judul dari novel yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez. Perang yang tak berkesudahan, bencana, kolonialisme, kediktatoran dan kekerasan politik merupakan bagian dari sejarah Amerika Latin yang terekam dalam novel Seratus Tahun Kesunyian ini. Buku ini dianggap memiliki dampak politik yang besar bagi Kolombia dan Amerika Latin karena membantu menciptakan identitas Amerika Latin. Buku ini sangat bagus dan menarik, cocok bagi para penikmat novel yang menggemari tentang sejarah."

 

PHYSICAL BOOK REVIEW

The Indonesian version of Gabriel García Márquez's One Hundred Years of Solitude was published by Gramedia Pustaka Utama in September 2018. The book cover, with its vibrant red color and abstract illustrations, grabs your attention right away and promises an exciting read.

With 483 pages, this edition gives plenty of room for the epic story to unfold. But when you first open it, the font type, small size, and tight spacing might seem a bit overwhelming. Still, it's worth giving it a shot because the translation by Djokolelono really captures García Márquez's style.

Even if you don't know Latin, you'll still get into the story because the translation does a great job with the humor, symbols, and deeper meanings. Djokolelono nails the vibe of García Márquez's masterpiece, making it easy for anyone to enjoy.

If you were hesitant to read this classic book because it seemed too hard, this Indonesian version proves that One Hundred Years of Solitude is both fun and interesting. You'll get pulled into the story of the Buendía family and their wild adventures.

Plus, the book is easy to stay flat on your lap or desk. This makes it super comfy to read. And you can totally scribble notes or mark your favorite parts without a hassle, thanks to its design.

(One Hundred Years of Solitude atau Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel García Márquez versi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada bulan September 2018. Sampul buku dengan warna merah cerah dan ilustrasi abstrak akan langsung menarik perhatian kita dan menjanjikan bacaan yang menarik.

Dengan 483 halaman, edisi ini memberikan banyak ruang untuk mengungkap kisah-kisah epik di dalamnya. Namun saat pertama kali membukanya, jenis font, ukuran font yang kecil, dan spasi yang rapat mungkin tampak sedikit menakutkan. Namun, buku ini wajib dibaca karena terjemahan Djokolelono benar-benar mencerminkan gaya García Márquez.

Bahkan jika kita tidak tahu bahasa Latin, kita tetap akan bisa masuk ke dalam cerita karena terjemahannya sangat cocok dengan humor, simbol, dan makna yang lebih dalam. Djokolelono menghadirkan nuansa mahakarya García Márquez ini sehingga mudah dinikmati oleh siapa saja.

Jika kamu ragu membaca buku klasik ini karena terkesan terlalu sulit, versi bahasa Indonesia ini membuktikan bahwa One Hundred Years of Solitude ini adalah buku yang seru sekaligus menarik. Kita akan tertarik pada kisah keluarga Buendía dan petualangan liar mereka.

Ditambah lagi, buku ini bisa dengan mudah tetap terbuka rata di pangkuan atau meja. Ini yang membuatnya sangat nyaman untuk dibaca. Dan kita dapat mencoret-coret catatan atau menandai bagian favorit tanpa kerepotan, berkat desainnya.)


“because races condemned to one hundred years of solitude did not have a second opportunity on earth”


BOOK REVIEW

In One Hundred Years of Solitude, García Márquez mixes magic with real life, making crazy stuff like flying carpets and ghosts seem normal. This adds a cool vibe to the story and makes you think about the mysteries of life.

The book follows the Buendía family for a hundred years. Stuff happens over and over again, and you see how the past affects the present and future.

The story doesn't follow a straight timeline. Things happen out of order, and characters from different times hang out together. It's like saying history doesn't just move forward, it loops around.

A big idea in the book is repetition. Names, events, and traits keep popping up through generations. Characters get stuck in the same old patterns as their ancestors, showing how the past shapes the present and future.

García Márquez wants us to see that what happened before still matters now. The actions of our ancestors affect us, and if we don't try to change things, we'll just keep making the same mistakes.

One Hundred Years of Solitude talks a lot about love in all its forms. There are passionate romances, one-sided crushes, and forbidden love. García Márquez dives deep into how love changes people and affects their lives. The characters deal with wanting to connect with others, feeling alone, and trying to figure out who they are in the middle of family drama and societal pressures.

Loneliness is an important topic in the book. The Buendía family, especially, feels stuck by themselves, both physically and emotionally. This loneliness messes with their heads, making them feel disconnected and like they can't escape their own problems.

The characters wonder if they control their own fate or if everything's already decided for them. It's a debate between having free will to choose their paths and feeling like they're just going along with whatever's supposed to happen.

Family is a huge theme too. The Buendía family is like a tiny version of society, with all its drama, secrets, and fights. Their story reflects what families and societies go through, and how traditions and stories get passed down from one generation to the next.

Power is another important idea. It shows how having power can mess people up, especially when it comes to politics and social stuff. Power can lead to hurting others, causing violence, and making society worse.

Colonialism starts with outsiders coming in and taking over the land and its goodies. Macondo gets founded because people want to get away from these outsiders and make their own perfect society. But as time goes on, those same outsiders come back, using Macondo's stuff and making decisions for the town. It shows how history kind of repeats itself and how hard it is for countries to break free from colonial rule and keep their own culture alive.

The book also talks a lot about revolutions and political drama, showing how Latin America has been through a lot of ups and downs. It gets into the excitement of revolutions and the hope they bring, but also the sadness and violence that often come afterward. The characters get caught up in all this political stuff, each having their own ideas about what's right. García Márquez digs deep into how these fights affect society and the people living through them.

How Macondo changes over time starts out all traditional but then modern life creeps in, bringing in new ideas and ways of doing things. Slowly, the old customs and rituals start disappearing. This shows how hard it is for communities to keep their traditions alive in a world that's always changing. García Márquez makes us think about whether progress is worth losing our cultural roots and how that loss can leave us feeling lost and empty inside.

(Dalam One Hundred Years of Solitude, García Márquez memadukan keajaiban dengan kehidupan nyata, memunculkan hal-hal gila seperti karpet terbang dan hantu tampak normal.  Bagian ini menambah kesan menarik pada cerita dan membuat kita berpikir tentang misteri kehidupan.

Buku ini menceritakan kisah keluarga Buendía selama seratus tahun. Hal-hal terjadi berulang-ulang, dan kita melihat bagaimana masa lalu mempengaruhi masa kini dan masa depan.

Ceritanya tidak mengikuti timeline linier. Hal-hal terjadi secara tidak berurutan, dan karakter dari waktu yang berbeda berkumpul bersama. Buku ini seperti mengatakan bahwa sejarah tidak hanya bergerak maju, namun berputar-putar.

Ide penting dalam buku ini adalah pengulangan. Nama, peristiwa, dan sifat yang sama terus bermunculan dari generasi ke generasi. Para karakter terjebak dalam pola lama yang sama dengan nenek moyang mereka, yang menunjukkan bagaimana masa lalu membentuk masa kini dan masa depan.

García Márquez ingin kita melihat bahwa apa yang terjadi sebelumnya masih penting hingga saat ini. Tindakan nenek moyang kita mempengaruhi kita, dan jika kita tidak berusaha mengubahnya, kita akan terus melakukan kesalahan yang sama.

One Hundred Years of Solitude juga banyak bercerita tentang cinta dalam segala bentuknya. Ada kisah cinta yang penuh gairah, cinta bertepuk sebelah tangan, dan cinta terlarang. García Márquez mendalami bagaimana cinta mengubah dan memengaruhi kehidupan seseorang. Para karakternya berhubungan dengan keinginan untuk terhubung dengan orang lain, merasa sendirian, dan mencoba mencari tahu siapa diri mereka di tengah drama keluarga dan tekanan sosial.

Kesepian adalah topik penting dalam buku ini. Keluarga Buendía, khususnya, merasa terjebak dalam kesepian, baik secara fisik maupun emosional. Kesepian ini mengacaukan pikiran mereka, membuat mereka merasa terputus dan seperti tidak bisa lepas dari masalahnya sendiri.

Para karakter bertanya-tanya apakah mereka mengendalikan nasib mereka sendiri atau apakah semuanya sudah diputuskan untuk mereka. Ini adalah perdebatan antara memiliki keinginan bebas untuk memilih jalan mereka dan merasa bahwa mereka hanya mengikuti apa pun yang seharusnya terjadi.

Keluarga juga merupakan tema penting. Keluarga Buendía seperti versi kecil masyarakat, dengan segala drama, rahasia, dan perkelahiannya. Kisah mereka mencerminkan apa yang dialami keluarga dan masyarakat, dan bagaimana tradisi serta cerita diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kekuasaan adalah gagasan penting lainnya. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat mengacaukan masyarakat, terutama jika menyangkut masalah politik dan sosial. Kekuasaan dapat menyakiti orang lain, menyebabkan kekerasan, dan memperburuk masyarakat.

Kolonialisme dimulai dengan masuknya orang luar dan mengambil alih tanah beserta barang-barangnya. Macondo didirikan karena orang-orang ingin menjauh dari orang luar dan menciptakan masyarakat mereka sendiri yang sempurna. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang luar tersebut kembali lagi, menggunakan barang-barang Macondo dan membuat keputusan untuk kota tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana sejarah terulang kembali dan betapa sulitnya bagi negara-negara untuk melepaskan diri dari pemerintahan kolonial dan menjaga budaya mereka tetap hidup.

Buku ini juga banyak berbicara tentang revolusi dan drama politik, menunjukkan bagaimana Amerika Latin mengalami banyak pasang surut. Hal ini tidak hanya mencakup kegembiraan revolusi dan harapan yang dibawanya, tetapi juga kesedihan dan kekerasan yang sering terjadi setelahnya. Karakter-karakternya terjebak dalam semua urusan politik ini, masing-masing punya ide sendiri tentang apa yang benar. García Márquez menggali lebih dalam bagaimana konflik ini berdampak pada masyarakat dan orang-orang yang mengalami konflik tersebut.

Bagaimana Macondo berubah dari waktu ke waktu dimulai dari kehidupan tradisional namun kemudian kehidupan modern mulai muncul, membawa ide-ide dan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Perlahan-lahan, adat istiadat dan ritual lama mulai hilang. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi masyarakat untuk menjaga tradisi mereka tetap hidup di dunia yang selalu berubah. García Márquez membuat kita berpikir apakah kemajuan layak jika kita kehilangan akar budaya kita dan bagaimana kehilangan itu dapat membuat kita merasa tersesat dan hampa.) 


“Human beings are not born once and for all on the day their mother gives birth to them, but that life obliges them over and over again to give birth to themselves.”


WHAT I'VE LEARNED

■The book shows how history tends to repeat itself, with the same patterns and events happening over and over again. It reminds us how important it is to know our past, spot those patterns, and learn from history so we don't make the same mistakes.

■Time flies by and memories can fade. The book talks about how we should treasure each moment, hold onto our memories, and be aware that time doesn't wait for anyone.

■Feeling alone is a major theme in the book, showing what happens when people are cut off from others. It stresses the importance of having connections and being part of a community to avoid feeling lonely and disconnected.

■The book also gets into how power can mess people up if it's not kept in check. It's a reminder that power needs to be used responsibly and that too much power can cause big problems in society.

■The characters in the book struggle with figuring out who they are, especially with all the family drama and societal pressures. It makes us think about our own identities and how we fit into the world.

(■Buku ini menunjukkan bagaimana sejarah cenderung terulang kembali, dengan pola dan peristiwa yang sama terjadi berulang-ulang. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya mengetahui masa lalu kita, menemukan pola-pola tersebut, dan belajar dari sejarah agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama.

■Waktu berlalu dan kenangan bisa memudar. Buku ini berbicara tentang bagaimana kita harus menghargai setiap momen, menyimpan kenangan kita, dan menyadari bahwa waktu tidak menunggu siapa pun.

■Kesepian adalah tema utama dalam buku ini, yang menunjukkan apa yang terjadi ketika seseorang tidak berhubungan dengan orang lain. Hal ini menekankan pentingnya memiliki koneksi dan menjadi bagian dari komunitas untuk menghindari perasaan kesepian dan sendirian.

■Buku ini juga membahas bagaimana kekuasaan dapat mengacaukan orang-orang jika tidak dikendalikan. Hal ini merupakan pengingat bahwa kekuasaan perlu digunakan secara bertanggung jawab dan bahwa terlalu banyak kekuasaan dapat menyebabkan masalah besar dalam masyarakat.

■Karakter-karakter dalam buku ini berjuang untuk mencari tahu siapa mereka sebenarnya, terutama dengan semua drama keluarga dan tekanan masyarakat. Ini membuat kita berpikir tentang identitas kita sendiri dan bagaimana kita menyesuaikan diri dengan dunia.)

 

CONCLUSION

One Hundred Years of Solitude is a classic book which talks about love, feeling alone, and figuring out who you are. García Márquez wrote a masterpiece that's still blowing minds today, inspiring tons of other writers and keeping readers hooked with its timeless messages.

(One Hundred Years of Solitude adalah buku klasik yang berbicara tentang cinta, kesepian, dan mencari tahu siapa diri kita. García Márquez menciptakan sebuah mahakarya yang masih memukau hingga saat ini, menginspirasi banyak penulis lain dan membuat pembaca terpikat dengan pesan-pesannya yang tak lekang oleh waktu.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.