Fifty-Four Things Wrong with Gwendolyn Rogers by Caela Carter | Book Review



Hello friends! As the title says, today I want to share my thoughts on an audiobook I finished on August titled Fifty Things Wrong with Gwendolyn Rogers by Caela Carter. I picked this one for one of my Orilium Readathon classes, and it turned out to be such an eye-opening read. This book explores neurodiversity in a way that felt both relatable and touching. Some parts made me feel sad, while others brought a bit of joy. Although it’s a middle grade book, I believe its message is important for readers of all ages and genders.

(Hai teman-teman. Sesuai judulnya aku bakal bahas mengenai audiobook yang aku selesaikan di bulan Agustus yaitu Fifty Things Wrong with Gwendolyn Rogers oleh Caela Carter. Aku baca ini buat salah satu kelas di Orilium Readathon. Buku ini tuh menarik karena banyak part yang relatable dan eye-opening buat aku, terutama soal neurodiversity. Ada bagian-bagian yang bikin aku sedih, tapi ada juga yang menghangatkan hati. Walaupun ini buku middle grade, menurut aku ini buku yang layak dibaca siapa aja, karena pesannya relevan untuk semua usia dan latar belakang.)

 

Fifty Four Things Wrong with Gwendolyn Rogers by Caela Carter | Book Review

 

Length                        : 336 pages | 8H 22M

Narrator                     : Hope Newhouse

Date released            : October 19, 2021

Date read                   : August 4 – 14, 2022

Goodreads rating     : 4.33

My rating                   : 4.50

Keywords           : middle grade, realistic fiction, neurodiversity, family, friendship, contemporary, own voice, mental health, school, ADHD, LGBTQIA+

Trigger warnings    : parent abandonment, drug addiction (mentioned), shouting, verbal abuse, violence

Where to read         : Storytel

 

BLURB

No one can figure out what Gwendolyn Rogers's problem is--not her mom, or her teachers, or any of the many therapists she's seen. But Gwendolyn knows she doesn't have just one thing wrong with her: she has fifty-four.

At least, according to a confidential school report (that she read because she is #16. Sneaky, not to mention #13. Impulsive). So Gwendolyn needs a plan, because if she doesn't get these fifty-four things under control, she's not going to be able to go to horse camp this summer with her half-brother, Tyler.

But Tyler can't help her because there's only one thing "wrong" with him: ADHD.

And her best friend Hettie can't help her because there's nothing wrong with Hettie. She's perfect.

So Gwendolyn is hopeless until she remembers the one thing that helped her mother when her own life was out of control. Or actually, the twelve things. Can these Twelve Steps that cured her mother somehow cure Gwendolyn too?” (Goodreads)


WHEN LABELS HURT AND WORDS MATTER: THOUGHTS ON A STORY ABOUT GWENDOLYN AND HER 54 PROBLEMS

Have you ever felt like something was wrong with you but couldn’t quite explain it? That’s what this book is about, a girl named Gwendolyn believes she has fifty-four problems. Every time she gets into conflict or something small goes wrong, those "fifty-four problems" show up in her mind.

For example, when her teacher calls her name and she doesn’t respond right away, her inner voice starts attacking: "Yes, I’m spacey. I’m rude. I have no filter." Listening to the audiobook version made me feel really sad. It hurt to hear a child blame herself so quickly and so harshly.

(Pernah nggak sih kamu merasa ada yang salah pada dirimu tapi nggak bisa jelasin kenapa? Nah, buku ini tentang seorang anak bernama Gwendolyn yang percaya dia punya lima puluh empat masalah. Setiap kali dia ribut sama orang atau ada hal kecil yang nggak berjalan lancar, "lima puluh empat masalah" itu langsung muncul di kepalanya.

Misalnya, saat gurunya manggil namanya dan dia nggak langsung jawab, suara di kepalanya langsung menyalahkan dirinya sendiri: "Aku emang pelupa. Aku nggak sopan. Aku nggak bisa jaga omongan." Waktu aku dengerin audiobook-nya, rasanya sedih banget. Sakit rasanya dengerin anak kecil menyalahkan diri sendiri secepat dan sekeras itu.)


THE IMPORTANCE OF HAVING A NAME FOR WHAT YOU’RE GOING THROUGH

One thing this book shows so clearly is how important a label can be, not a negative one, but a name that helps someone understand themselves. Gwendolyn keeps searching for a word that explains what’s going on with her. She believes there must be a name for someone with "fifty-four problems."

When we don’t know why we feel a certain way or act differently, it’s easy to feel confused, frustrated, and very alone. We might start to believe we’re the only one who feels this way. That maybe we’re not normal. That we don’t belong anywhere. And in this book, we can really feel how confused and lonely Gwendolyn is. She keeps wondering what’s wrong with her, and that wondering becomes exhausting. That’s why it’s so important to support people especially kids, when they say they want to see a doctor or therapist.

Saying things like "You’re okay," or "It’s all in your head," might sound comforting, but they don’t help someone get the answers they need. They don’t stop the guessing. And when someone is stuck in that loop of constantly wondering what’s wrong, it can be draining. Having a name or explanation can bring relief. It can be the first step toward understanding, healing, and self-acceptance.

(Satu hal yang sangat jelas di buku ini adalah betapa pentingnya sebuah label, bukan label yang buruk, tapi sebuah nama yang bisa membantu seseorang memahami dirinya sendiri. Gwendolyn terus mencari kata yang bisa menjelaskan apa yang sedang ia alami. Ia yakin pasti ada nama untuk seseorang dengan "lima puluh empat masalah."

Saat kita tidak tahu kenapa kita merasa sedih, marah, atau berperilaku tertentu, kita bisa merasa bingung dan sendirian. Kita mulai percaya bahwa kita satu-satunya orang yang seperti ini. Kita merasa aneh, tidak normal, dan seperti tidak punya tempat yang bisa menerima kita. Dan di buku ini, rasa bingung dan kesepian itu sangat terasa dari Gwendolyn. Ia terus menerka-nerka apa yang salah dengannya, dan itu sangat melelahkan. Itu sebabnya penting sekali untuk mendukung orang, terutama anak-anak, yang bilang ingin ke dokter atau terapis.

Kalimat seperti "Kamu baik-baik aja," atau "Itu cuma perasaanmu kok," mungkin terdengar menenangkan, tapi sebenarnya tidak membantu mereka mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan biarkan mereka terus bertanya-tanya sendirian. Jangan biarkan mereka terjebak dalam lingkaran "mungkin ini, mungkin itu." Karena menebak-nebak terus tanpa jawaban itu capek. Mendapatkan nama atau penjelasan bisa memberikan rasa lega, dan jadi langkah awal menuju pemahaman, penyembuhan, dan penerimaan diri.)


SOME PEOPLE DON’T NEED PUNISHMENT, THEY NEED FREEDOM

In the second half of the book, there’s a chapter where Gwendolyn finally gets a break from strict rules and punishments. And something amazing happens, her brain calms down. She finishes one thing and moves on to the next with more ease. This story makes an important point that not all people respond well to strict rules, to-do lists, or punishments. Some will even break rules just to push back against the pressure.

This reminded me of my younger self. When I was around five or six, no one had to ask me to study, I liked reading and doing schoolwork on my own. But when my parents got angry because I broke something and told me not to do something, I ended up doing it again. My brain just ignored the rules in those moments.

(Di bagian kedua buku ini, ada satu bab di mana Gwendolyn akhirnya dikasih waktu tanpa aturan ketat dan tanpa hukuman. Dan yang terjadi? Otaknya jadi lebih tenang. Dia bisa mengerjakan satu hal dan lanjut ke hal berikutnya dengan lebih mudah. Buku ini memberikan pesan yang penting bahwa nggak semua orang cocok dengan aturan ketat, to-do-list, atau sistem hukuman. Bahkan, ada yang justru makin melanggar aturan kalau ditekan terus.

Aku jadi inget masa kecilku juga. Waktu umur lima atau enam tahun, nggak ada yang nyuruh aku belajar, aku suka baca dan mengerjakan tugas sekolah dengan sendirinya. Tapi kalau aku dimarahi karena merusak sesuatu dan disuruh jangan melakukannya lagi, aku justru sering melakukan hal yang sama. Kayak otakku nggak denger perintah itu.)


EVERY BRAIN WORKS DIFFERENTLY

Brains are not one-size-fits-all. If one student learns slower than another, it doesn’t mean one is abnormal. It just means they need a different way of learning. But unfortunately, kids who don’t fit into the usual learning style often get labeled: stupid, lazy, rude, difficult. And when adults, especially parents and teachers, say those words often enough, kids start to believe them.

This book helped me reflect on how labels can affect the way kids see themselves. Labels like impatient, anti-social, or disruptive stick. And they’re hard to shake off, especially when they come from the people who are supposed to understand and support you.

(Otak kita tidak bisa disamaratakan. Kalau ada murid yang belajarnya lebih lambat dari yang lain, bukan berarti dia "tidak normal". Mungkin dia cuma butuh cara belajar yang berbeda. Tapi sayangnya, anak-anak yang tidak cocok dengan gaya belajar yang biasa digunakan di sekolah sering diberi label: bodoh, malas, nggak sopan, susah diatur. Dan kalau kata-kata itu sering diucapkan oleh orang dewasa, apalagi orang tua dan guru, anak-anak bisa mulai percaya kalau itu memang kenyataannya.

Buku ini bikin aku merenung soal bagaimana label bisa membentuk cara anak-anak melihat dirinya sendiri. Label seperti nggak sabaran, anti-sosial, atau pembuat masalah itu sangat kuat daya lekatnya. Dan susah hilangnya, apalagi kalau datang dari orang-orang yang seharusnya memahami dan mendukung kita.)


BIAS BASED ON GENDER AND AGE STILL HAPPENS

Another thing this book shows clearly is how expectations and treatment can differ depending on gender and age. Gwendolyn, being a girl, is expected to behave quietly, calmly, and politely. She’s scolded more often than her brother, even when they both do the same things. It feels unfair, but it reflects what happens in real life too. Girls are often labeled as "too loud" or "too emotional" for behaviors that boys might get away with.

And as people grow older, a different kind of bias shows up. Adults, especially women, are expected to "know better" or "have it all together." If they struggle with focus or emotions, they’re more likely to be seen as lazy, irresponsible, or dramatic, while kids might be given more understanding. This makes it even harder for adults to get the help or support they need.

(Satu hal lain yang ditunjukkan buku ini dengan jelas adalah bagaimana perlakuan dan ekspektasi bisa berbeda tergantung pada gender dan usia. Gwendolyn, sebagai anak perempuan, diharapkan untuk bersikap tenang, kalem, dan sopan. Ia lebih sering dimarahi dibanding saudara laki-lakinya, meskipun mereka melakukan hal yang sama. Rasanya nggak adil, tapi ini memang sering terjadi di kehidupan nyata. Anak perempuan sering dilabeli sebagai "terlalu cerewet" atau "terlalu emosional" untuk perilaku yang dianggap wajar pada anak laki-laki.

Ketika seseorang tumbuh dewasa, bentuk bias yang berbeda pun muncul. Orang dewasa, terutama perempuan, sering diharapkan untuk "lebih tahu" atau "sudah bisa mengatur segalanya." Kalau mereka kesulitan untuk fokus atau mengatur emosi, mereka lebih mudah dianggap malas, nggak bertanggung jawab, atau terlalu dramatis, sementara anak-anak mungkin masih dimaklumi. Hal ini membuat orang dewasa jadi makin sulit untuk mendapat bantuan yang mereka butuhkan.)


WORDS CAN HURT, BUT THEY CAN ALSO HEAL

All of us have strengths and weaknesses in our brains. Some people can easily see their strengths, but others, especially those constantly told they’re "bad" or "difficult", may only focus on what’s "wrong" with them. That’s why words matter so much.

If someone keeps hearing that they’re lazy, rude, or a problem, they might believe that’s who they really are. Even jokes or offhand comments can stick. And it’s not just about repetition, sometimes, just one negative word from someone we admire, respect, or love can stay with us for years. It can shape how we see ourselves, how we make decisions, and how we treat others.

That’s why I appreciate how Gwendolyn’s mom talked to her. She always used kind and uplifting words: "You are great. You are sweet. You are important." It might seem simple, but those words helped Gwendolyn feel less alone. And sometimes, that’s all someone really needs.

(Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan dalam cara kerja otaknya. Ada yang mudah melihat sisi kuatnya, tapi ada juga yang, apalagi kalau terus-menerus dibilang "nakal" atau "susah diatur", justru hanya bisa melihat hal-hal negatif dari dirinya sendiri. Karena itu, kata-kata sangat berarti.

Kalau seseorang sering mendengar bahwa mereka malas, kasar, atau pembuat masalah, lama-lama mereka bisa percaya bahwa itu memang jati dirinya. Bahkan candaan atau komentar yang terkesan tidak serius pun bisa membekas. Dan yang menyakitkan bukan cuma kata-kata yang diulang terus, kadang satu ucapan negatif dari orang yang mereka kagumi, hormati, atau sayangi bisa melekat di hati mereka selama bertahun-tahun. Bisa memengaruhi cara mereka melihat diri sendiri, mengambil keputusan, bahkan memperlakukan orang lain.

Itulah kenapa aku sangat mengapresiasi cara ibu Gwendolyn berbicara padanya. Ia selalu memakai kata-kata yang baik dan menyemangati: "Kamu hebat. Kamu manis. Kamu penting." Kedengarannya sederhana, tapi kata-kata itu membuat Gwendolyn merasa tidak sendirian. Dan kadang, itu saja sudah sangat berarti.)


DIVERSITY ISN’T JUST ABOUT WHAT WE SEE

This book also taught me that diversity goes beyond what we can see on the outside. We often talk about diversity in terms of race, language, skin color, or culture, but there’s a kind of diversity that’s invisible: how our brains work. The idea of neurodiversity, that each brain has its own way of processing things, was eye-opening for me. Some people might dislike things that others see as "normal," and that’s not wrong. Their brains just work differently.

If you feel like you "fit in" because your thoughts are similar to those around you, that’s okay. But remember, you might feel different in another setting. And if you often feel out of place, it might just mean you think in a unique way, and that’s okay too.

(Buku ini juga mengingatkan aku kalau keberagaman itu bukan cuma yang bisa kita lihat dari luar. Selama ini, kita sering ngomongin keberagaman dari sisi ras, bahasa, warna kulit, atau budaya. Tapi ada satu jenis keberagaman yang nggak kelihatan: cara kerja otak kita masing-masing. Istilah neurodiversity, yang artinya setiap otak punya cara sendiri dalam memproses sesuatu, sangat eye-opening buat aku. Ada orang yang nggak suka hal-hal yang dianggap "normal" oleh kebanyakan orang, dan itu bukan berarti mereka salah. Otaknya aja yang beda cara kerjanya.

Kalau kamu merasa cocok sama lingkunganmu karena pola pikirmu yang mirip, itu nggak masalah. Tapi jangan lupa, di tempat lain kamu bisa aja merasa berbeda. Dan kalau kamu sering merasa nggak cocok sama sekitarmu, bisa jadi itu karena kamu punya cara berpikir yang unik, dan itu juga nggak masalah.)


DIFFERENT BRAINS, DIFFERENT BOOK TASTES

This also made me think about book preferences. People enjoy or dislike stories for all sorts of reasons, and a big part of that is how their brains respond to the content. One book can have a 5-star rating from someone and a 1-star rating from someone else, and both are valid. If you love a book that others hate, it doesn’t mean your brain is "wrong." And if you dislike a book that everyone else loves, it doesn’t make your opinion less important.

We also change over time. A book you hate today might become meaningful to you ten years later. And that shift doesn’t mean you’re better or worse, it just means you’ve grown. There’s no normal or abnormal in taste. Just different.

(Ini juga bikin aku kepikiran soal selera baca. Orang suka atau nggak suka buku itu bisa karena banyak alasan, dan salah satunya karena otak mereka bereaksi berbeda terhadap isi ceritanya. Satu buku bisa dapet rating 5 bintang dari seseorang, tapi cuma 1 bintang dari orang lain, dan dua-duanya sah-sah aja. Kalau kamu suka buku yang orang lain nggak suka, itu bukan berarti otak kamu "aneh". Dan kalau kamu nggak suka buku yang semua orang puji, bukan berarti pendapatmu kurang penting.

Selera juga bisa berubah seiring waktu. Buku yang sekarang kamu benci bisa aja jadi berarti banget buat kamu 10 tahun lagi. Dan perubahan itu bukan tanda kamu jadi lebih baik atau lebih buruk, cuma berarti kamu berkembang. Nggak ada yang normal atau nggak normal soal selera. Hanya berbeda.)


A QUICK NOTE ABOUT THE AUDIOBOOK

I listened to the audiobook on Storytel, and I enjoyed how the author read the story herself. Her voice made me instantly care for Gwendolyn, I just wanted to jump into the book and help her.

There are several scenes where people yell at Gwendolyn, but thankfully, the narrator didn’t actually shout. That helped a lot, though those parts still made me feel uncomfortable. So, if you’re sensitive to yelling or intense scenes, you might prefer reading the physical or digital book instead of listening.

The narrator did a great job giving each character a distinct voice like Mardy, Gwen’s mom, Tyler, her friends, the teachers, and Doctor Nessa all sounded different. I could follow the story easily, even during dialogue-heavy scenes, and I was able to listen at 1.5x speed without getting lost.

(Aku dengerin versi audiobook-nya di Storytel, dan aku suka banget karena penulisnya sendiri yang jadi narator. Suaranya bikin aku langsung care sama Gwendolyn, rasanya pengin banget masuk ke dalam cerita dan bantuin dia.

Ada beberapa adegan di mana orang-orang marah dan teriak ke Gwendolyn, tapi untungnya naratornya nggak beneran teriak. Hal ini cukup membantu walaupun bagian-bagian itu tetap bikin aku nggak nyaman. Jadi, kalau kamu sensitif sama suara teriakan atau adegan yang emosinya intens, mungkin kamu lebih cocok baca versi cetak atau digitalnya daripada dengerin audiobook.

Naratornya juga bagus banget dalam memberikan suara yang berbeda-beda untuk tiap karakter. Mardy, ibunya Gwen, Tyler, teman-temannya, guru-guru, sampai Dokter Nessa semuanya terdengar unik. Aku jadi gampang mengikuti ceritanya, bahkan di bagian yang banyak dialognya. Dan aku bisa dengerin dengan kecepatan 1.5x tanpa bingung sama sekali.)


FINAL THOUGHTS

Fifty Things Wrong with Gwendolyn Rogers is more than just a middle grade book. It made me reflect a lot about how we treat others, how we see ourselves, and how important it is to understand that not every brain works the same way. I feel like this book can help us be more patient, kind, and supportive, especially to people who feel different or misunderstood. If you’ve ever felt like you didn’t fit in, or if you’re trying to understand someone who sees the world differently, this book might give you some comfort and insight. I’m really glad I picked it up for my Orilium Readathon, and I hope more people give it a chance too.

(Fifty Things Wrong with Gwendolyn Rogers bukan cuma sekadar buku middle grade. Buku ini bikin aku banyak berpikir tentang gimana kita memperlakukan orang lain, gimana kita melihat diri sendiri, dan betapa pentingnya untuk memahami bahwa nggak semua otak bekerja dengan cara yang sama. Menurut aku, buku ini bisa membantu kita jadi lebih sabar, lebih ramah, dan lebih suportif terutama buat orang-orang yang merasa berbeda atau sulit dipahami. Kalau kamu pernah merasa nggak cocok sama lingkungan sekitar kami, atau lagi berusaha memahami seseorang yang cara pandangnya beda, mungkin buku ini bisa kasih sedikit penghiburan dan sudut pandang baru. Aku senang banget bisa baca buku ini buat Orilium Readathon, dan semoga makin banyak yang baca juga.)

 

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.