The Stone Sky, the final installment of N.K. Jemisin's The Broken Earth trilogy, continues the saga of a world plagued by environmental catastrophes and societal oppression. The story follows the intertwined journeys of Essun and Nassun, mother and daughter, both powerful orogenes with the ability to manipulate the Earth's forces. Essun seeks to halt the apocalyptic Seasons and find Nassun, hoping to save her from the dark path of destruction. Nassun, on the other hand, grapples with her immense powers and confronts the choices that will determine the world's fate. Throughout their quests, the narrative delves into the mysteries of the Stone Eaters, immortal beings with their own agendas, and uncovers the origins of the Seasons.
(The Stone Sky, yang merupakan buku terakhir dari trilogi Broken Earth karya N.K. Jemisin, yang melanjutkan kisah tentang dunia yang dilanda bencana dan penindasan sosial. Kisah ini mengikuti perjalanan yang saling terkait antara Essun dan Nassun, ibu dan anak perempuannya, keduanya adalah orogene yang kuat dengan kemampuan untuk memanipulasi kekuatan bumi. Essun berusaha menghentikan Musim apokaliptik (Season) dan menemukan Nassun, dan berharap untuk menyelamatkannya dari jalan gelap kehancuran. Nassun, di sisi lain, berjuang dengan kekuatannya yang sangat besar dan menghadapi pilihan-pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Sepanjang pencarian mereka, kisah ini menggali misteri para Stone Eaters, makhluk abadi dengan tujuan mereka sendiri, dan mengungkap asal muasal Season.)
BOOK INFORMATION
Title : The Stone Sky
Author : N. K. Jemisin
Publisher : Orbit
Language : English
Length : 464 pages
Released : August 15, 2017
Read : September 14 - 24, 2023
GR Rating : 4.35
My rating : 4.00
BOOK REVIEW
The Stone Sky, the concluding volume of N.K. Jemisin's Broken Earth trilogy, continues to build upon the rich and intricate post-apocalyptic world of the Stillness. While the first two books established the dire circumstances of this fractured world, The Stone Sky delves even deeper into its lore and history, unraveling the enigmatic origins of the catastrophic events that have plagued this land. In doing so, Jemisin expands the scope of the narrative, providing readers with a profound understanding of the forces that have shaped the Stillness into what it has become.
One of the most remarkable aspects of the Broken Earth series is the evolution of its central characters, particularly Essun and Nassun. Throughout the trilogy, these characters undergo profound transformations that are both narratively integral and emotionally resonant. At the start of the series, Essun is a mother on the run, trying to protect her children. She hides her orogenic abilities to avoid persecution. As the series progresses, Essun's transformation is profound. She embraces her identity as an orogene and becomes a skilled practitioner. Her journey is not just about gaining power but also understanding the complexities of the world, the history of orogeny, and the impact of oppression. Essun's evolution is marked by resilience, self-discovery, and a commitment to saving her daughter.
Nassun begins as a frightened child grappling with her own orogenic powers. She is exposed to harsh realities early in the series, including the death of her younger brother, Uche. As she travels with Schaffa, Nassun's transformation is marked by her growing control over her abilities and her struggle to reconcile her love for her mother with the indoctrination she receives from Schaffa and the Fulcrum. Nassun's journey forces her to confront complex moral dilemmas and ultimately make a significant choice about the fate of the world.
Their growth from vulnerable and oppressed individuals to empowered and self-aware agents of change is at the heart of the story's power. As readers, we witness their struggles, their moments of revelation, and their gradual embrace of their identities. This evolution adds layers of depth and complexity to the narrative, making it not just a story of survival but a profound exploration of human resilience and self-discovery.
The theme of oppression and discrimination looms large in the series, casting a shadow over the lives of orogenes, individuals with the power to manipulate geological forces. Ostracized and feared by society, orogenes face discrimination due to their abilities. The Fulcrum, an institution that trains and controls orogenes, enforces strict rules and subjects them to harsh conditioning, reinforcing their status as outcasts. This mirrors real-world systems of oppression and control, highlighting the dangers of institutions that dehumanize and exploit marginalized groups.
Furthermore, Jemisin explores racial and cultural discrimination within the Stillness. Different communities and races in this world hold biases and prejudices against one another, demonstrating the pervasive nature of discrimination. This multifaceted approach to oppression makes the series a powerful commentary on societal prejudice and injustice.
The hostile environment of the Stillness serves as a metaphor for the relentless oppression faced by the characters. Frequent geological catastrophes mirror the characters' struggles, highlighting the cyclical nature of their hardships. The concept of Seasons, where the world undergoes apocalyptic events in recurring cycles, underscores the idea of enduring and overcoming recurrent oppression.
The complex mother-daughter relationships, particularly between Essun and Nassun, add emotional depth to the narrative. These relationships explore themes of unconditional love and sacrifice, maternal guilt and regret, generational differences, identity and acceptance, and the challenges of communication and misunderstanding. Jemisin navigates these intricate dynamics with sensitivity, making them integral to the characters' development.
The Stone Sky also raises profound philosophical questions about humanity, existence, and the nature of power. It challenges readers to contemplate the ethical dilemmas faced by the characters and the consequences of their choices. The narrative invites reflection on what it means to be human in the face of overwhelming adversity and what individuals are willing to sacrifice for the greater good.
(The Stone Sky, volume penutup dari trilogi Broken Earth karya N.K. Jemisin, masih menceritakan Stillness, yaitu dunia pasca-apokaliptik yang kaya dan rumit. Sementara dua buku pertama memaparkan keadaan mengerikan dari dunia yang mengalami kehancuran ini, The Stone Sky menggali lebih dalam kisah dan sejarahnya, yang mengungkap asal mula peristiwa bencana yang penuh teka-teki yang melanda dunia ini. Dengan melakukan hal tersebut, Jemisin memperluas cakupan narasinya, dengan memberikan pembaca pemahaman mendalam tentang kekuatan yang telah membentuk Stillness menjadi seperti saat ini.
Salah satu aspek paling luar biasa dari seri Broken Earth adalah evolusi karakter utamanya, khususnya Essun dan Nassun. Sepanjang trilogi, karakter-karakter ini mengalami transformasi mendalam yang bersifat integral secara naratif dan beresonansi secara emosional. Di awal seri, Essun adalah seorang ibu yang melarikan diri, yang berusaha melindungi anak-anaknya. Dia menyembunyikan kemampuan orogenic-nya untuk menghindari penganiayaan. Seiring berjalannya serial ini, transformasi Essun terlihat sangat mendalam. Dia menerima identitasnya sebagai orogene dan menjadi praktisi yang terampil. Perjalanannya tidak hanya sekadar meraih kekuasaan tetapi juga memahami kompleksitas dunia, sejarah orogeny, dan dampak penindasan. Evolusi Essun ditandai dengan ketahanan, penemuan jati diri, dan komitmen untuk menyelamatkan putrinya.
Nassun awalnya adalah seorang anak yang ketakutan yang berjuang dengan kekuatan orogenic-nya sendiri. Dia dihadapkan pada kenyataan pahit di awal seri, termasuk kematian adik laki-lakinya, Uche. Saat dia bepergian bersama Schaffa, transformasi Nassun ditandai dengan meningkatnya kendali atas kemampuannya dan perjuangannya untuk mendamaikan cintanya pada ibunya dengan indoktrinasi yang dia terima dari Schaffa dan Fulcrum. Perjalanan Nassun memaksanya menghadapi dilema moral yang kompleks dan pada akhirnya membuat pilihan penting mengenai nasib dunia.
Pertumbuhan mereka dari individu yang rapuh dan tertindas menjadi agen perubahan yang berdaya dan sadar diri merupakan inti dari kekuatan cerita ini. Sebagai pembaca, kita menyaksikan perjuangan mereka, momen-momen pencerahan mereka, dan pengenalan identitas mereka secara bertahap. Evolusi ini menambahkan lapisan kedalaman dan kompleksitas pada narasinya, yang menjadikannya bukan hanya sekadar kisah bertahan hidup namun juga eksplorasi mendalam tentang ketahanan dan penemuan jati diri manusia.
Tema penindasan dan diskriminasi terlihat kuat dalam seri ini, yang membayangi kehidupan orogenes, individu yang memiliki kekuatan untuk memanipulasi kekuatan geologis. Diasingkan dan ditakuti oleh masyarakat, orogenes menghadapi diskriminasi karena kemampuannya. Fulcrum, sebuah lembaga yang melatih dan mengendalikan orogene, menerapkan aturan ketat dan menerapkan pengondisian yang keras, sehingga memperkuat status mereka sebagai orang buangan. Hal ini mencerminkan sistem penindasan dan kontrol yang ada di dunia nyata, dan menyoroti bahaya institusi yang tidak manusiawi dan mengeksploitasi kelompok marginal.
Lebih lanjut, Jemisin mengeksplorasi diskriminasi ras dan budaya dalam Stillness. Berbagai komunitas dan ras di dunia ini memiliki bias dan prasangka satu sama lain, yang menunjukkan sifat diskriminasi yang sangat luas. Pendekatan multifaset terhadap penindasan menjadikan seri ini sebagai komentar yang kuat mengenai prasangka dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Lingkungan yang tidak bersahabat di Stillness berfungsi sebagai metafora atas penindasan tanpa henti yang dihadapi oleh para karakter. Bencana geologi yang sering terjadi mencerminkan perjuangan para karakter, yang menyoroti siklus kesulitan hidup mereka. Konsep Season, dimana dunia mengalami peristiwa apokaliptik dalam siklus yang berulang, menggarisbawahi gagasan untuk bertahan dan mengatasi penindasan yang berulang.
Hubungan ibu-anak yang kompleks, khususnya antara Essun dan Nassun, menambah kedalaman emosional narasinya. Hubungan ini mengeksplorasi tema cinta dan pengorbanan tanpa syarat, rasa bersalah dan penyesalan, perbedaan generasi, identitas dan penerimaan, serta tantangan dalam komunikasi dan kesalahpahaman. Jemisin menjelajahi dinamika rumit ini dengan kepekaan, yang menjadikannya bagian integral dari perkembangan karakter.
The Stone Sky juga memunculkan pertanyaan filosofis yang mendalam tentang kemanusiaan, kehidupan, dan sifat kekuasaan. Buku ini menantang pembaca untuk merenungkan dilema etika yang dihadapi oleh para karakter dan konsekuensi dari pilihan mereka. Narasi ini mengundang refleksi tentang apa artinya menjadi manusia dalam menghadapi kesulitan yang luar biasa dan apa yang bersedia dikorbankan oleh individu demi kebaikan yang lebih besar.)
THE FAVORITES
■Environmental responsibility: The series serves as a powerful reminder of our responsibility to protect the environment. It underscores the consequences of environmental exploitation and the urgent need for stewardship. By depicting a world constantly ravaged by geological catastrophes, it highlights the devastating impact of neglecting the Earth's resources, offering a cautionary tale for our own world.
■Multi-layered characters: N.K. Jemisin's characters are a true highlight of the series. Readers are drawn to the depth and complexity of characters like Essun and Nassun. Their growth and development throughout the story make them relatable and emotionally engaging. Witnessing their struggles, motivations, and evolving relationships adds a deeply human element to the narrative.
■Narrative structure: The series' unique narrative structure, including second-person present-tense passages, challenges readers in the best possible way. While it may take some adjustment, it ultimately enhances the storytelling by providing an immediate and immersive experience. It invites readers to inhabit the characters' perspectives, making the narrative more intimate and impactful.
■Social commentary: The series offers incisive social commentary on a range of issues, making it highly relevant to the real world. Readers appreciate how it tackles themes like oppression, exploitation, and societal structures, allowing them to reflect on these issues through the lens of fiction. It prompts discussions about the parallels between the Stillness and our own society, fostering critical thinking and empathy.
■Themes of oppression and discrimination: The series provides compelling parallels to real-world issues, making it a thought-provoking commentary on various aspects of our society. It addresses racial and ethnic discrimination, xenophobia, environmental injustice, and institutional oppression. By exploring the intersections of these themes, it deepens our understanding of systemic inequalities and their profound impact on individuals and communities.
■Stone eaters: The immortal Stone Eaters symbolize the enduring nature of oppression, discrimination, and trauma faced by marginalized groups. Their status as outsiders and monsters reflects the discrimination experienced by racial, ethnic, or other minority groups in our world. Their possession of hidden knowledge mirrors the suppression of truths and histories by those in power, emphasizing the importance of acknowledging and preserving marginalized narratives.
■Societal inequality and climate impact: The series draws a direct connection between societal inequality and the unequal impact of environmental catastrophe. It vividly portrays how those in positions of power build protective structures, leaving marginalized communities to bear the brunt of disasters. This parallels the real-world reality that vulnerable communities often suffer the most from environmental crises, highlighting the urgent need for equity and climate justice.
(■Tanggung jawab terhadap lingkungan: Seri ini berfungsi sebagai pengingat yang kuat akan tanggung jawab kita untuk melindungi lingkungan. Hal ini menggarisbawahi konsekuensi eksploitasi lingkungan dan kebutuhan mendesak akan pengelolaan lingkungan. Dengan menggambarkan dunia yang terus-menerus dirusak oleh bencana geologi, seri ini menyoroti dampak buruk dari pengabaian sumber daya bumi, dan memberikan sebuah kisah peringatan bagi dunia kita sendiri.
■Karakter multilayer: Karakter adalah sorotan utama serial ini. Pembaca tertarik pada kedalaman dan kompleksitas karakter seperti Essun dan Nassun. Pertumbuhan dan perkembangan mereka sepanjang cerita membuat mereka menarik secara emosional. Menyaksikan perjuangan, motivasi, dan perkembangan hubungan mereka menambah unsur kemanusiaan yang mendalam dalam narasinya.
■Struktur naratif: Struktur naratif unik serial ini, termasuk bagian-bagian dengan sudut pandang orang kedua, menantang pembaca dengan cara yang terbaik. Meskipun mungkin memerlukan beberapa penyesuaian, hal ini pada akhirnya meningkatkan penceritaan dengan memberikan pengalaman yang langsung dan mendalam. Kisah ini mengajak pembaca untuk menyelami sudut pandang tokoh, dan menjadikan narasinya lebih dekat dan berdampak.
■Komentar sosial: Seri ini menawarkan komentar sosial yang tajam mengenai berbagai isu, sehingga sangat relevan dengan dunia nyata. Pembaca mengapresiasi cara buku ini mengangkat tema-tema seperti penindasan, eksploitasi, dan struktur masyarakat, sehingga memungkinkan mereka merefleksikan isu-isu tersebut melalui kacamata fiksi. Hal ini mendorong diskusi tentang persamaan antara Stillness dan masyarakat kita sendiri, yang menumbuhkan pemikiran kritis dan empati.
■Tema penindasan dan diskriminasi: Seri ini memberikan persamaan yang menarik dengan isu-isu dunia nyata, yang menjadikannya sebuah komentar yang menggugah pikiran tentang berbagai aspek dalam masyarakat kita. Hal ini termasuk diskriminasi ras dan etnis, xenofobia, ketidakadilan lingkungan, dan penindasan institusional. Dengan mengeksplorasi titik temu dari tema-tema ini, kita akan memperdalam pemahaman kita tentang kesenjangan sistemik dan dampaknya yang besar terhadap individu dan komunitas.
■Stone Eaters: Stone Eaters yang abadi melambangkan sifat penindasan, diskriminasi, dan trauma abadi yang dihadapi oleh kelompok-kelompok marginal. Status mereka sebagai orang luar dan monster mencerminkan diskriminasi yang dialami oleh kelompok ras, etnis, atau kelompok minoritas lainnya di dunia kita. Kepemilikan mereka atas pengetahuan tersembunyi mencerminkan penindasan terhadap kebenaran dan sejarah oleh mereka yang berkuasa, yang menekankan pentingnya mengakui dan melestarikan narasi-narasi yang terpinggirkan.
■Ketimpangan sosial dan dampak iklim: Seri ini menggambarkan hubungan langsung antara kesenjangan sosial dan dampak bencana lingkungan yang tidak setara. Hal ini dengan jelas menggambarkan bagaimana mereka yang berkuasa membangun struktur perlindungan, sehingga komunitas marginal harus menanggung beban akibat bencana. Hal ini sejalan dengan kenyataan di dunia nyata bahwa masyarakat sering kali menjadi yang paling menderita akibat krisis lingkungan hidup, sehingga menyoroti kebutuhan mendesak akan kesetaraan dan keadilan iklim.)
CONCLUSION
The Stone Sky stands as a remarkable conclusion to N.K. Jemisin's groundbreaking Broken Earth trilogy. This work of speculative fiction not only offers a vividly imagined post-apocalyptic world but also serves as a powerful allegory for pressing real-world issues. Readers are drawn into a narrative rich with environmental responsibility, multi-layered characters, and a narrative structure that challenges convention. It delves into themes of oppression, discrimination, and the complex dynamics of mother-daughter relationships, sparking meaningful reflections on society's challenges. The Stone Sky serves as a compelling reminder of the importance of acknowledging our impact on the environment, the significance of empathy in the face of discrimination, and the enduring nature of the human spirit.
(The Stone Sky merupakan kesimpulan luar biasa dari trilogi Broken Earth karya N.K. Jemisin. Karya fiksi spekulatif ini tidak hanya menampilkan dunia pasca-apokaliptik yang dapat dibayangkan dengan jelas tetapi juga berfungsi sebagai alegori yang kuat untuk isu-isu mendesak di dunia nyata. Pembaca dibawa ke dalam sebuah narasi yang kaya akan tanggung jawab terhadap lingkungan, karakter yang multilayer, dan struktur narasi yang menantang konvensi. Kisah ini menggali tema-tema penindasan, diskriminasi, dan dinamika kompleks hubungan ibu-anak, yang memicu refleksi bermakna terhadap tantangan-tantangan masyarakat. The Stone Sky berfungsi sebagai pengingat yang menarik akan pentingnya mengakui dampak yang kita bawa terhadap lingkungan, pentingnya empati dalam diskriminasi, dan sifat abadi dari jiwa manusia.)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.