Thousand Cranes by Yasunari Kawabata | Book Review

 


Thousand Cranes by Yasunari Kawabata follows the life of Kikuji, a 28-year-old Tokyo office worker, as he becomes entangled in a web of relationships after his father's death. Attending a tea ceremony lesson, he encounters Miss Chikako Kurimoto, who was once involved with his father, and is drawn to her pupil, Yukiko Inamura. The story explores themes of love, desire, guilt, and the complexities of human emotions and relationships.

As the narrative unfolds, Kikuji becomes involved with Mrs. Ota, his father's long-time mistress, and her daughter, Fumiko. Secrets and shame shroud their interactions. Kikuji then receives a shino ware jar and a tea bowl from Fumiko, both relics of their parents' affair, which further complicate their emotions.

(Thousand Cranes oleh Yasunari Kawabata mengikuti kehidupan Kikuji, seorang pekerja kantoran Tokyo berusia 28 tahun, saat ia terjerat dalam hubungan setelah kematian ayahnya. Saat menghadiri upacara minum teh, dia bertemu dengan Nona Chikako Kurimoto, yang pernah berhubungan dengan ayahnya, dan tertarik pada muridnya, Yukiko Inamura. Ceritanya mengeksplorasi tema cinta, keinginan, rasa bersalah, dan kompleksitas emosi dan hubungan manusia.

Saat narasi terungkap, Kikuji terlibat dengan Ny. Ota, selingkuhan lama ayahnya, dan putrinya, Fumiko. Rahasia dan rasa malu menutupi interaksi mereka. Kemudian Kikuji menerima jambangan shino dan mangkuk teh dari Fumiko, keduanya peninggalan perselingkuhan orang tua mereka, yang semakin memperumit emosi mereka.)

 

BOOK INFORMATION

Title                       : Thousand Cranes

Japanese Title        千羽鶴

Author                  : Yasunari Kawabata

Translator             : Nurul Hanafi

Publisher              : Immortal Publishing

Language             : Indonesian

Length                  : 162 pages

Released               :  2018

Read                     : August 5 - 7, 2023

GR Rating            : 3.72

My rating             : 2.50

 

BOOK REVIEW

In Thousand Cranes, Yasunari Kawabata weaves Japanese tea ceremony and culture, delving into themes of guilt, shame, beauty, and human emotions. However, the novel's distant writing style and translation issues hinder its full potential, leading to a minimized reading experience.

Kawabata's exploration of the Japanese tea ceremony is a highlight of the novel. The precision and significance of each ritual are vividly portrayed, offering readers a glimpse into this ancient cultural practice.

Guilt and shame themes resonate strongly throughout the narrative, adding depth to the characters and their actions. Kawabata captures the weight of past mistakes and the complex emotions that arise from secrets and unspoken desires. The characters' internal struggles with shame create a poignant undercurrent that lingers, leaving readers to ponder the impact of our choices on our lives and relationships.

While the themes are rich, the novel's distant writing style may leave some readers feeling disconnected from the characters. The protagonist is mostly depicted through his actions and words, with little insight into his thought processes and feelings. This lack of depth in character exploration hampers the readers to fully empathize with their struggles and motivations.

Another limitation lies in the translation, as some sentences may become difficult to understand. This linguistic barrier may detract from the reader's immersion in the story.

(Dalam Thousand Cranes, Yasunari Kawabata menggabungkan upacara minum teh dan budaya Jepang, menyelidiki tema rasa bersalah, rasa malu, keindahan, dan emosi manusia. Namun, gaya penulisan novel yang terasa jauh dan masalah terjemahan menghalangi potensi penuhnya, yang mengarah ke pengalaman membaca yang kurang maksimal.

Eksplorasi Kawabata tentang upacara minum teh Jepang menjadi sorotan novel ini. Ketepatan dan pentingnya setiap ritual digambarkan dengan jelas, yang menawarkan kepada pembaca praktik budaya kuno ini. 

Tema rasa bersalah dan malu terasa kuat di sepanjang narasi, yang menambah kedalaman karakter dan tindakan mereka. Kawabata menangkap beban kesalahan masa lalu dan emosi kompleks yang muncul dari rahasia dan keinginan yang tak terucapkan. Perjuangan internal karakter dengan rasa malu menciptakan implikasi yang pedih yang bertahan, yang membuat pembaca merenungkan dampak pilihan kita pada kehidupan dan hubungan kita.

Meskipun temanya kaya, gaya penulisan novel yang terasa jauh membuat sebagian pembaca merasa terputus dari karakternya. Protagonis sebagian besar digambarkan melalui perbuatan dan kata-katanya, dengan sedikit pengetahuan tentang proses pemikiran dan perasaannya. Kurangnya kedalaman eksplorasi karakter menghambat pembaca untuk sepenuhnya berempati dengan perjuangan dan motivasi mereka.

Keterbatasan lain terletak pada terjemahan, karena beberapa kalimat sulit untuk dipahami. Hambatan linguistik ini mengurangi pendalaman pembaca dalam cerita.

Buku ini aku rekomendasikan untuk pembaca yang menyukai buku berisi drama dan interaksi awkward para karakter, dengan kehadiran karakter julid di dalamnya.

Karakter favorit: Chikako Kurimoto, the queen of kejulidan dan ikut campur urusan orang.)

 

CONCLUSION

Thousand Cranesby Yasunari Kawabata presents a portrayal of Japanese tea ceremony and culture, interwoven with themes of guilt, shame, beauty, and human emotions. While the exploration of these elements is commendable, the novel's distant writing style and translation issues hinder its potential impact. As such, my personal rating for Thousand Cranes is 2.5 out of 5 stars. It remains a thought-provoking read for those who appreciate poetic contemplation of human emotions and cultural traditions.

(Thousand Cranes oleh Yasunari Kawabata menyajikan gambaran tentang upacara minum teh dan budaya Jepang, yang terjalin dengan tema rasa bersalah, rasa malu, keindahan, dan emosi manusia. Sementara eksplorasi elemen-elemen ini patut dipuji, gaya penulisan novel yang terasa jauh dan masalah terjemahan menghambat potensi dampaknya. Karena itu, aku memberi rating untuk Thousand Cranes 2,5 dari 5 bintang. Buku ini tetap menjadi bacaan yang menggugah pikiran bagi mereka yang menyukai kontemplasi puitis dari emosi manusia dan tradisi budaya.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.