[ Life Lesson ] Puasa : Sebuah Kesempatan Spesial




Salah satu pelajaran berharga dari bulan ramadhan dari masa kecil saya adalah seperti kata ayah saya : kalau sudah sering melakukannya, kita akan merasa ringan.

Puasa adalah salah satu wujud self-care bagi saya. Setelah 11 bulan kita memakan makanan yang entah apa saja, ditambah gaya hidup tidak sehat seperti begadang dan stress, maka ada 1 bulan yang diberikan khusus untuk mereset tubuh melalui puasa Ramadhan. Dengan fungsi reset ini, maka tubuh akan lebih santai, mendapatkan makanan secara teratur dan mendapatkan berbagai hal positif lain dari puasa. Dengan catatan, saat puasa harus makan makanan yang sehat pula ya. Dengan begitu, tujuan untuk mereset dan berterima kasih kepada tubuh kita bisa tercapai.


Mengapa perlu dimulai sejak kecil?

Jawaban saya sih, agar terbiasa. Agar saat dewasa, puasa bukanlah sebuah penghalang, hukuman maupun beban, namun sebuah kesempatan baik.  Namun, tidak menutup kemungkinan bagi orang-orang yang sudah melewati masa kecil untuk memulai puasa sekarang, kesempatan spesial ini berlaku untuk semua orang, tak peduli di umur berapa mereka memulainya.

Saat kecil, saya merasa jarak dari sahur menuju buka puasa di waktu dhuhur terasa begitu lama, ditambah lagi jaman saya dulu waktu puasa kan sekolah libur, tanpa PR. Saya benar-benar libur. Saat kelas 1 dan 2 SD, saya masih puasa setengah hari, hal yang saya lakukan saat menunggu waktu dhuhur adalah menonton acara memasak favorit yaitu Hidangan Ramadhan yang dibawakan oleh ibu Sisca Soewitomo, dan rentetan acara masak spesial bulan puasa lainnya.

Saya agak lupa sih reaksi sahur pertama kali saat itu, yang jelas rasanya kepala ini berat sekali, saya jadi heran kenapa ayah dan ibu saya bisa bangun lebih awal dan terlihat bersemangat. Adik saya pun begitu, saat saya menginjak kelas 3 SD, adik saya kelas 1 SD, kami selalu sahur dengan muka kusut, sambil menonton acara TV spesial sahur agar tidak ngantuk.

Kenapa saya waktu itu mau berpuasa?

Karena orang tua saya tentunya, kalau tidak diberi penjelasan, saya tidak akan tahu ada yang namanya puasa Ramadhan. Jawaban orang tua saya saat itu adalah agar kita masuk surga. Meski saya tidak paham betul apa itu surga, dimana alamatnya, saya ikut puasa, karena terlihat seperti hal yang baru buat saya. Saya tidak dijanjikan dapat hadiah, masa kecil saya bukanlah masa kecil yang penuh hadiah atas pencapaian saya. Mungkin karena orang tua saya ingin saya berpuasa bukan karena hadiah.


Menurut saya, jika kita sudah pernah melakukan sesuatu, waktu selanjutnya saat kita melakukannya lagi rasanya sudah lebih ringan dari sebelumnya, karena ‘kita sudah pernah’. Mungkin karena tubuh kita sudah mengenalinya dan beradaptasi.

Contoh yang lebih mudah adalah mengetik. Jika dilihat saja, kita akan bingung melihat tombol-tombol yang begitu banyak. Namun, begitu kita praktek mengetik, kita sudah melatih jari-jari kita untuk mengenal letak tombol-tombol tersebut. Semakin sering melakukannya, kita bisa mengetik tanpa melihat dimana letak tombol itu berada, bahkan sampai huruf dan angka di atas tombolnya hilang pun kita tetap bisa mengetik dengan lancar.

Puasa terlihat berat karena kita harus bangun pagi buta untuk makan, tidak boleh makan minum sampai maghrib, belum lagi malamnya ada sholat tarawih yang rakaatnya banyak. Jika dilihat saja, akan terlihat tidak mungkin dan melelahkan bahkan membuat kita lemas karena banyak kegiatan yang harus dilakukan namun makan kita terbatas. Namun, semakin sering kita melakukannya dengan kesadaran penuh, kita akan menemukan sebuah keasikan di dalamnya.

Saya memulai puasa dengan segala kesumpekan di masa anak-anak saya, setelah melewati beberapa tahun, saya baru merasa puasa itu asik karena saya merasa puasa adalah sebuah kesempatan spesial. Kesempatan spesial untuk berterima kasih dan mereset diri sendiri.

Untuk kamu, yang mungkin merasa puasa sangat melelahkan, jangan khawatir, asal kamu terus melakukannya, kamu akan menemukan sesuatu yang asik dan pelajaran di dalamnya. Merasa berat, lelah dan khawatir akan sesuatu yang tidak biasa seperti puasa adalah hal wajar. Bukan berarti kita tidak layak dapat pahala atau kita tidak niat atau segala macam judgement lainnya, kita hanya belum terbiasa. Yang berhak menentukan besarnya pahala dan layak tidaknya dapat pahala bukankah hanya Sang Pencipta? So, ignore those negative judgements over your transition process. Let your body recognize, learn and get used to it.

Merasa lapar bukan berarti kita tidak beriman. Lapar adalah sinyal bahwa organ pencernaan kita masih berfungsi dengan baik dan kita masih manusia normal. Yang tidak normal adalah saat kita lapar, kemudian kita marah-marah kepada orang yang sedang makan karena tidak bagi-bagi makanannya kepada kita.

Seperti kata-kata ayah saat kami anak-anaknya baru mulai puasa : kamu hanya belum terbiasa, lama-lama juga terasa ringan

Puasa bukan soal berapa banyak kebaikan yang tampak yang kita lakukan, juga bukan soal berapa banyak uang yang kita sedekahkan, bukan soal di masjid hits mana kita sholat tarawih, bukan soal bagaimana kita membuat orang lain menghargai puasa kita, puasa adalah tentang kita dan diri kita. Bagaimana kita merasa asik, nyaman dan bahagia dengan kesempatan spesial sekali setahun ini.






Title picture edited by lailiving, background photo by : Philipp Berndt

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.