Love, Decoded by Jennifer Yen | Book Review

 


Imagine Emma but make it modern, with coding, matchmaking fails, and the brutal pressure of elite prep school life. That’s Love, Decoded in a nutshell. Gigi Wong is that girl: straight-A student, coding whiz, and professional people-pleaser trying to hack her way into college apps with a viral friend-matching app. Spoiler: It backfires hard. Jennifer Yen keeps it real with humor and heart, diving into the messy grind of ambition, privilege, and figuring out who you are when you’re too busy trying to be perfect. Basically, it’s for anyone who’s ever faked confidence while secretly spiraling, and the squad who helps you through it.

(Bayangkan Emma tapi versi kekinian: ada coding, jasa matchmaking yang gagal, dan tekanan gila-gilaan di sekolah elite. Itulah Love, Decoded secara singkat. Gigi Wong adalah murid berprestasi, jago coding, dan people-pleaser pro yang bikin aplikasi cari temen buat nge-boost aplikasi kuliahnya. Spoiler: gagal parah. Jennifer Yen nggak cuma bikin ceritanya lucu, tapi juga jujur soal ambisi, privilege, dan drama "siapa sih aku sebenernya?" saat terlalu sibuk jadi sempurna. Intinya, buku ini buat kamu yang pernah pura-pura pede padahal dalam hati udah meleyot, dan buat circle kamu yang selalu jadi bala bantuan)


BOOK INFORMATION

Title                       : Love, Decoded 

Author                  : Jennifer Yen 

Publisher             : Razorbill 

Language             : English 

Length                  : 320 pages

Released               : March 8, 2022

Read                     : September 29-30, 2023

GR Rating            : 3.50

My rating            : 4.25


TL;DR: A tech-savvy, modern Emma retelling where a perfectionist Chinese-American teen’s viral friend-matching app blows up in her face literally and socially. Expect coding chaos, messy friendships, slow-burn romance, and a shift in self-acceptance.


⚠️ SIDE EFFECTS

Secondhand embarrassment from Gigi’s well-intentioned-but-oh-no meddling

Intense craving for ramen

Sudden urge to reevaluate your own people-pleasing habits

Shipping tension


PERFECT FOR YOU IF:

✔️ You’ve ever cried over college apps or a B-

✔️ Your love language is roasting your friends (affectionately)

✔️ You stan messy, relatable heroines who grow

✔️ You want Asian rep that’s not just trauma porn


AVOID IF:

❌ You hate slow burns (romantic and personal-growth-wise)

❌ Cringe humor isn’t your thing (Gigi’s fails are painfully funny)

❌ You prefer dark, gritty books, this is warm toast, not burnt toast



BOOK REVIEW

Meet Gigi Wong, your classic overachieving high school junior trying to ace everything: grades, friendships, daughter duties, you name it. But no matter how hard she hustles, someone's always doing just a little better. With college apps breathing down her neck, she's low-key panicking about not measuring up. Thank goodness for her ride-or-die BFF Kyle, who always knows exactly what to say (and which ramen hits different). But even her loving parents seem to expect more from her big brother than from her. So what does Gigi do? Goes full try-hard mode, obviously whether she's coding databases for her aunt's matchmaking business or killing it at her fancy NYC prep school.

Then golden opportunity drops when her teacher announces a lit app contest. The prize? A dream tech internship that basically equals college admission. Only problem? Gigi's got zero ideas until new girl Etta opens up about struggling to make friends. Lightbulb moment! Gigi mixes her coding skills with her aunt's matchmaking know-how to create Quizzlet, a friend-finding app. Sounds sweet, right? Until it blows up at school and suddenly Gigi's at the center of major drama. Her good intentions? Yeah, they're kinda blowing up in her face, and now her relationships with Etta AND Kyle are on thin ice.

This whole mess is basically Emma for the digital age, swap Regency-era matchmaking for coding and viral apps. Gigi means well (like our girl Emma), but she's got serious blind spots when it comes to how her actions affect others. This book gets real about that constant pressure to be perfect, the privilege check Gigi needs, and the whole "who am I really?" struggle. At first, Gigi doesn't get how her wealthy Chinese-American background gives her advantages that someone like Etta doesn't have. But when her perfect student image starts crumbling? That's when the real growth begins.

What makes this book so good? It's got everything like hilarious friend banter, family feels, and those moments where food = love. You'll ship Gigi and Kyle hard (even if you wish there were more of their scenes). The best part? Watching Gigi faceplant, own her mistakes, and finally realize that being real beats being perfect every time. By the end, you'll be cheering as she trades people-pleasing for actual self-awareness. It's that perfect mix of funny and deep that'll have you texting your book club ASAP.

This book hits hard with its message about tying your self-worth to achievements. Gigi's that girl who's constantly chasing perfection in coding, grades, even matchmaking, all because she's terrified she'll never be enough. Sound familiar? This book totally gets how toxic hustle culture can be, especially when you feel like you're competing against everyone. But it doesn't just call out these pressures, it actually shows how to break free from them. When Gigi's app fails and her friendships start crumbling, she finally gets it: perfection is a myth, and chasing it just leaves you lonely.

The real MVP of this book? The character relationships. Kyle (Gigi's half-Chinese, half-white bestie) is that friend who keeps it 100, hyping her up but also calling her out when she's being oblivious. Their friendship gives us major "they should just date already" vibes. Then there's Etta, whose struggle to fit in shows the real consequences of Gigi's meddling. That moment when Gigi realizes her "help" actually made things worse? Chef's kiss character development.

Cultural rep in this book is chef's kiss too. Gigi's Chinese-American background shapes everything from her parents' quiet expectations to her Auntie Rose's old-school matchmaking wisdom. The tech vs. tradition clash (especially with Gigi's Matchmaker 3000 app) is hilarious but also low-key deep. And can we talk about how food = love in this story? Those family meal scenes hit different.

The ending? Surprisingly realistic for YA. No magical fixes here. Gigi actually has to work through her mess, learning to apologize properly and prioritize people over achievements. Kyle-Gigi shippers will be fed (but not too much). What really sticks with you is Gigi's growth, she's still ambitious, but now she gets that being perfect isn't the point. It's like Emma for the digital age, but with more coding drama and less Regency-era tea parties. Basically, it's that perfect book to read when you need a reminder that you're enough exactly as you are.

(Mari berkenalan dengan Gigi Wong, cewek SMA yang tipe overachiever, pengen jago di semua hal: nilai, pertemanan, jadi anak baik, pokoknya semuanya. Tapi sekeras apa pun dia berusaha, selalu ada yang lebih baik dikit. Ditambah tekanan aplikasi kuliah yang makin mencekik, Gigi low-key panik takut nggak cukup bagus. Untung ada Kyle, bestie-nya yang selalu ngasih semangat (dan rekomendasi ramen terbaik). Tapi yang bikin sedih, orangtuanya kayaknya lebih banyak ekspektasi ke kakak laki-lakinya. Jadi gimana dong? Ya Gigi makin gila kerja, ngoding database buat bisnis matchmaking tante-nya atau berusaha jadi yang terbaik di sekolah elite NYC-nya.

Pas guru mengumumkan kontes bikin aplikasi, hadiahnya magang impian yang bisa bantu pendaftaran kuliah. Masalahnya? Gigi nggak punya ide sampai Etta, murid pindahan, curhat kalau dia susah cari temen. Lightbulb moment! Gigi gabungin skill coding dan ilmu matchmaking tante-nya buat bikin Quizzlet, aplikasi cari temen. Kedengarannya keren kan? Tapi pas app-nya viral di sekolah, malah jadi petaka. Niat baik Gigi? Well, berantakan, dan hubungannya sama Etta dan Kyle jadi tegang.

Cerita ini kayak Emma versi modern, tinggal ganti jodohin orang ala zaman dulu dengan coding dan aplikasi viral. Gigi sih niatnya baik (kayak Emma), tapi dia sering nggak sadar dampak perbuatannya ke orang lain. Buku ini jujur banget ngomongin tekanan buat jadi sempurna, privilege yang Gigi baru sadarin, dan masalah "aku sebenernya siapa sih?". Awalnya Gigi nggak ngerti kalau latar belakangnya sebagai Chinese-American yang berkecukupan bikin hidupnya lebih gampang dibanding Etta. Tapi pas citra "anak sempurna"-nya mulai runtuh? Nah, di situ pertumbuhan sebenarnya dimulai.

Yang bikin buku ini spesial? Ada segalanya, kayak obrolan kocak antar temen, momen keluarga yang menyentuh, dan makanan sebagai bahasa cinta. Kamu pasti bakal ship Gigi dan Kyle (walau pengen ada lebih banyak scene mereka). Tapi yang paling keren? Melihat Gigi jatuh bangun, mengakui kesalahan, dan akhirnya sadar jadi diri sendiri jauh lebih penting daripada jadi sempurna. Di akhir cerita, kita bakal ikut seneng waktu Gigi berhenti jadi people-pleaser dan mulai lebih self-aware. Perpaduan lucu dan dalemnya pas banget, bikin pengen langsung bahas di grup chat book club!

Buku ini ngena banget soal gimana kita sering banget menghubungkan harga diri sama prestasi. Gigi tuh tipikal cewek yang selalu mengejar kesempurnaan, dari coding, nilai, sampai urusan jodohin orang, semua karena takut nggak akan pernah cukup. Familiar nggak sih? Buku ini ngerti banget betapa toxic-nya hustle culture, apalagi ketika kita merasa kayak harus bersaing sama semua orang. Tapi nggak cuma kasih kritik, buku ini juga kasih solusi. Pas aplikasi Gigi gagal dan pertemanannya mulai runtuh, dia baru nyadar: kesempurnaan itu mitos, dan mengejarnya cuma bikin kita kesepian.

Yang bikin buku ini spesial? Hubungan antar karakternya. Kyle (bestie Gigi yang blasteran China-Kaukasia) tuh temen yang jujur banget bisa memuji tapi juga ngingetin kalau Gigi lagi ngawur. Chemistry mereka bikin kita mikir, "Udah deh jadian aja kalian!". Terus ada Etta, yang kesulitannya nyari temen bikin kita lihat dampak dari Gigi yang ikut campur. Momen ketika Gigi sadar kalau "bantuannya" malah bikin masalah? Chef's kiss banget buat perkembangan karakternya.

Representasi budaya di sini juga top. Latar belakang Chinese-American Gigi ngaruh banget ke semuanya mulai dari ekspektasi diam-diam orangtuanya sampai ilmu matchmaking ala old-school tante Rose. Konflik antara teknologi dan tradisi (terutama lewat aplikasi Matchmaker 3000-nya Gigi) lucu tapi dalem. Dan jangan lupa, makanan di sini tuh simbol kasih sayang, adegan makan keluarga beneran bikin meleleh.

Endingnya? Nggak ajaib tiba-tiba selesai semua kayak kebanyakan YA. Gigi beneran harus beresin kekacauannya sendiri, belajar minta maaf yang bener dan lebih peduli sama orang daripada prestasi. Buat yang shipping Gigi-Kyle kita bakal dikasih dikit (tapi jangan berharap terlalu banyak) scene mereka. Yang paling berkesan tuh perkembangan Gigi, dia tetep ambisius, tapi sekarang udah paham kalau jadi sempurna itu bukan tujuan. Kayak Emma versi era digital, tapi lebih banyak drama coding dan tanpa tea party ala zaman dulu. Intinya, buku ini perfect buat dibaca pas kita butuh diingetin kalau kita udah cukup apa adanya.)


THE FAVORITES

■ This book dives deep into self-discovery, friendship, crushes, ambition, and that constant pressure to "have it all together." Basically, everything you’re probably dealing with right now. Gigi’s struggles feel so real, like she’s that one friend in your group chat who’s always overthinking life (we all have one, or are one).

■ The writing? Chef’s kiss. No fancy, hard-to-follow stuff, just smooth, easy-to-read vibes. Whether English is your first language or your fifth, you’ll fly through this. Perfect for when you want a book that feels like chatting with your BFF instead of decoding Shakespeare.

■ And the pacing? Chef’s kiss again. It’s the kind of story you binge in one sitting, light, fun, and impossible to put down. Beach read? Rainy-day escape? Bus ride distraction? Yes, yes, and yes.

■ But the real gem? The message. Gigi’s journey from "I need to be perfect" to "Actually, I’m pretty awesome as I am" is the kind of change we all need. It’s both inspiring and freeing. This book is like a warm hug reminding you that flaws aren’t failures because they’re what make you you. And honestly? We’re here for it.

(■ Buku ini membahas soal pencarian jati diri, pertemanan, suka-suka kecil, ambisi, dan tekanan buat selalu "tampak sempurna". Intinya, semua hal yang mungkin lagi kamu hadapi sekarang. Permasalahan Gigi terasa nyata banget, kayak temen di grup chat yang selalu overthinking hidup (kita semua punya temen kayak gitu, atau jangan-jangan emang kita sendiri?).

■ Gaya nulisnya? Chef's kiss. Nggak pakai bahasa Inggris yang sulit, enak dibaca, dan mengalir aja. Mau bahasa Inggris kamu level native atau baru belajar, bakal gampang ngikutin ceritanya. Cocok banget buat bacaan santai yang rasanya kayak ngobrol sama bestie, bukan kayak nerjemahin puisi kuno.

■ Tempo ceritanya? Lagi-lagi chef's kiss. Tipikal buku yang bakal kamu lahap dalam sekali duduk, ringan, seru, dan susah banget buat berhenti. Bacaan pantai? Bacaan pas hujan? Teman nongkrong di angkot? Yes, yes, dan yes!

■ Tapi yang bikin paling spesial? Pesannya. Perjalanan Gigi dari "Aku harus sempurna" ke "Sebenernya, aku udah cukup baik kok" tuh perubahan yang kita semua butuhkan. Inspiratif sekaligus bikin lega. Buku ini kayak pelukan hangat yang ngingetin kalau kekurangan bukanlah kegagalan, justru itu yang bikin kita unik. Dan honestly? Kita semua butuh pesan kayak gini.)


CONCLUSION

Love, Decoded is that aha moment when you realize achievements don’t define you. Gigi’s journey from control freak to "okay, maybe I don’t have it all figured out" is painfully relatable, and the messy, awkward, so-real friendships (shoutout to Kyle, the ultimate hype-bestie) will have you texting your group chat. Yen nails the balance of laugh-out-loud cringe and deep cuts about family, culture, and self-worth. By the end, you’ll be like Gigi: still ambitious, but finally understanding that perfection is a scam, and real connections are way more lit.

(Love, Decoded tuh kayak epiphany waktu kita akhirnya sadar: "Oh, nilai/pencapaian gak nentuin harga diri kita." Perjalanan Gigi dari si perfeksionis ke "yaudahlah, aku juga manusia" relate banget, apalagi persahabatannya yang awkward tapi autentik (shoutout buat Kyle, si hype-man terbaik). Yen sukses bikin kita ketawa sekaligus mikir soal keluarga, budaya, dan self-worth. Habis baca, kita bakal kayak Gigi: tetep ambisius, tapi udah sadar kesempurnaan itu cuma ilusi, dan hubungan yang real jauh lebih berharga..\)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.