Mengatasi Jerawat dengan Bahan Pangan dari Hutan


salak lailiving


Halo! Setelah sekian lama, akhirnya saya menulis artikel blog ini dalam bahasa Indonesia. Yeay. Menulis artikel dalam bahasa Inggris adalah challenge yang saya buat untuk diri saya sendiri tahun ini agar saya bisa mengasah kemampuan saya. Selain itu, saya juga ingin membuat semua orang bisa mendapat pesan yang saya sampaikan. Tidak menutup kemungkinan, nantinya artikel ini juga akan saya buat versi bahasa Inggrisnya agar lebih banyak orang memahami pentingnya menjaga hutan sepenting menjaga kesehatan tubuh.

Salah satu quote favorit saya berbunyi seperti ini :
What we are doing to the forests of the world is but a mirror reflection of what we are doing to ourselves and to one another.” ― Chris Maser

Yang kita lakukan pada hutan adalah cerminan dari apa yang kita lakukan pada diri kita dan orang lain. Karena kita semua terhubung satu sama lain. Seperti yang dilakukan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang merupakan organisasi terbesar di Indonesia yang berupaya dalam pemulihan dan penyelamatan lingkungan hidup sejak tahun 1980. Wah saya belum lahir, WALHI sudah berjuang ya. Saya tertarik pada nilai-nilai dasar organisasi ini seperti menghormati HAM, keadilan gender, keadilan antar generasi, demokratis, anti kekerasan, keberagaman dan keadilan ekologis. WALHI sendiri beranggotakan 487 organisasi pecinta alam dan non pemerintah dan 203 individu yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan WALHI adalah pemulihan dan perlindungan ekosistem hutan. 

Hutan merupakan satu wilayah yang luas yang menciptakan satu ekosistem sendiri yang disebut ekosistem hutan terdiri dari tumbuhan, hewan, dan komponen abiotik yang berhubungan satu sama lain untuk menciptakan keseimbangan. Jika keseimbangan hutan tidak tercapai, maka ekosistem lainnya pun akan terganggu keseimbangannya. Tidak hanya menyebabkan hewan-hewan penghuni hutan memasuki wilayah pemukiman manusia, namun kebakaran hutan yang terjadi menyumbang peningkatan emisi gas rumah kaca yang berkaitan langsung dengan pemanasan global. Hutan tidak hanya menyumbangkan hasil berupa kayu dan ilmu pengetahuan (seperti hutan yang digunakan khusus untuk penelitian), namun hutan juga menyediakan berbagai bahan pangan yang bisa dikonsumsi manusia diantaranya durian, salak, pakis, murbei, kesemek, pisang, madu hutan, buah rotan dan jamur tiram hutan. Seperti contohnya hutan di wilayah Desa Sendi, Mojokerto yang dikelola masyarakat sekitar bersama FPR Sendi dan WALHI. Mereka tidak menanam tumbuhan yang dimanfaatkan kayunya untuk mengurangi penebangan hutan, namun menanam buah-buahan yang bisa dimanfaatkan tanpa melakukan penebangan. 

Meski saya lahir dan tumbuh besar di daerah pegunungan, namun saya tidak pernah langsung mengambil bahan makanan dari hutan, karena memang saya tidak tinggal di sekitar area hutan. Namun, saya selama ini sudah mengkonsumsi bahan pangan dari hutan sebagai bagian dari lifestyle reset yang saya lakukan secara tidak langsung, seperti contohnya pisang, salak, madu hutan, gula aren dan gula jawa.



Mengapa saya melakukan lifestyle reset?

Menginjak masa remaja, saya mengalami masalah yang umum dialami para remaja yaitu jerawat. Katanya, setelah masa remaja lewat, jerawat tidak akan pernah datang lagi. Namun, saya masih mengalami masalah jerawat ini hingga saya lulus kuliah. Meskipun tidak tergolong jerawat yang parah, namun jerawat membuat saya tidak percaya diri dan tidak nyaman karena memang beberapa jerawat terasa nyeri sampai beberapa hari. Saya sempat menutup jerawat dengan produk make-up dan juga menggunakan produk-produk skincare khusus jerawat yang ujung-ujungnya membuat kulit saya jadi kering. Akhirnya saya memutuskan untuk mengganti produk skincare dan mereset gaya hidup saya, terutama dari makanan yang saya konsumsi.

Seperti yang sudah pernah saya jelaskan pada blog post saya mengenai jerawat yaitu Acne Basic : Intro, Penyebab dan Jenis, bahwa salah satu penyebab jerawat adalah produksi sebum berlebihan. Produksi sebum berlebihan bisa terjadi karena pola makan yang berpengaruh pada produksi insulin yang berujung pada naiknya hormon androgen. Saat terjadi produksi sebum berlebihan inilah, bisa terjadi peroksidasi lipid dan menarik bakteri penyebab jerawat. 

Untuk itu, langkah termudah yang pertama kali saya lakukan adalah mengubah pola makan.

Saya mulai mengurangi bahkan menghentikan konsumsi cemilan tinggi gula, cake, roti, es krim, fast food, dan juga minuman manis seperti jus dalam kemasan, sirup, dan susu. Lalu, bagaimana saya bertahan hidup tanpa “makanan enak” yang sudah jadi bagian dari hidup saya selama belasan bahkan 20 tahun hidup saya? Tenang, kalian tidak akan mati kelaparan kalau tidak makan makanan yang saya sebutkan diatas. Kita hanya perlu beralih pada makanan enak lainnya yang ternyata kandungan gizi dan manfaatnya jauh lebih tinggi.

Nah, lifestyle reset yang saya lakukan dari 2014 salah satunya dalam hal pola makan membawa dampak positif tidak hanya untuk kulit namun untuk kesehatan tubuh saya secara keseluruhan. Dampak positif ini tidak datang langsung esok harinya, namun dalam jangka panjang. Kita tidak bisa makan sehat sekali saja, kemudian kembali makan fast food setelahnya dan berharap terjadi perubahan pada jerawat kita. Selama tahun 2015 hingga 2017 saya masih mengalami jerawat yang datang silih berganti tiada henti. Baru sekitar 2018-2019 saya menyadari bahwa saya sudah tidak mengalami jerawat separah dulu. Selama tahun 2019, saya mendapat 1 jerawat saat mengerjakan satu proyek besar di akhir tahun, haha. Karena stress. Jadi, perubahan gaya hidup terutama pola makan yang saya lakukan selama ini memberikan dampak positif pada kulit wajah saya. Horeee!

Jadi, apa yang saya lakukan pada pola makan saya?

1. Mengurangi dan bahkan menghentikan konsumsi makanan tinggi gula, bahan pewarna, pengawet dan penyedap buatan seperti contohnya cake, susu, fast food, makanan instan, dan minuman bersoda.
2. Mengkonsumsi buah dan sayuran setiap hari
3. Memakan masakan yang dimasak sendiri di rumah, dan sebisa mungkin tidak menggunakan metode memasak yang terlalu panjang / lama untuk menjaga kandungan nutrisi dalam bahan makanan
4. Mengurangi konsumsi daging merah seperti daging sapi, kambing dan ayam
5. Mengganti gula pasir dengan madu hutan, gula aren atau gula jawa

Buah-buahan dan bahan makanan lain yang saya pilih tersebut berdasarkan glycemic index (GI) atau indek glikemik yang merupakan angka yang menunjukkan potensi satu bahan makanan untuk meningkatkan gula darah yang nantinya terkait dengan produksi insulin. Gula pasir misalnya memiliki GI sebesar 65, sedangkan madu hutan sebesar 55 dan gula jawa hanya 35 saja. Untuk buah-buahan, apel, melon, salak dan jeruk memiliki indeks glikemik yang termasuk rendah, disusul dengan pisang masak dan anggur yang termasuk indeks glikemik sedang. Sebenarnya indeks glikemik bukan satu-satunya patokan untuk memilih makanan mana yang harus kita makan, namun buat saya pribadi ini termasuk penting, haha. 



Salah satu buah yang selalu ada di rumah dan menjadi favorit saya adalah salak. Buah ini selalu ada di semua musim, meski harganya juga berubah-ubah. Buah yang dikenal dengan nama snake fruit karena kulitnya yang mirip kulit ular ini dikenal sebagai buah yang memiliki angka glikemik rendah, mudah ditemukan, dan bahkan kulit buahnya bisa dimanfaatkan untuk pengobatan diabetes. Saya sendiri belum pernah mencoba memanfaatkan kulit buah salak, bagi yang sudah pernah, bisa membagikan pengalamannya di kolom komentar di bawah ya.

Menurut Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, terdapat 19 spesies salak yang tumbuh di wilayah hutan basah tropika Indonesia. Salak yang biasa dikonsumsi biasanya merupakan spesies Salacca salaca seperti salak pondoh, salak condet, salak ambarawa dan salak hutan madura. Selain itu, ada spesies lain seperti Salacca wallichiana  yang menurut FAO berasal dari hutan perbatasan Kalimantan dan Malaysia, Salacca zalacca var.amboniensis atau Salak Kelapa/Salak Bali/Salak Putih yang berasal dari Bali, serta Salacca affinnis yang tumbuh di wilayah hutan basah dan rawa-rawa wilayah Kalimantan dan Sumatra. 

Kalau soal salak, satu kresek bisa saya habiskan sendirian, haha. Selain karena manisnya tidak berlebihan (sehingga tidak membuat bosan), juga rasa salak menurut saya membuat ketagihan. Menurut orang-orang di sekitar saya, kalau kebanyakan makan salak konon bisa membuat sulit buang air besar, jadi teman-teman yang jarang atau tidak pernah makan salak, jangan sampai kalap makan salak ya, hihi. 

Salak pun menjadi pengganti seluruh jenis cemilan yang biasa saya makan di masa lalu, yang bisa saya konsumsi tanpa membuat khawatir. Selain kadar gulanya rendah, salak juga mengandung beberapa kandungan yang bermanfaat bagi tubuh seperti serat, besi, protein, potasium, kalsium, fosfor, vitamin C dan beta karoten, dengan kandungan 82 kalori saja per 100 gram salak. Beta karoten dalam salak disebut 5 kali lebih tinggi dibandingkan semangka dan mangga, dan 3 kali lebih tinggi daripada jambu biji merah. Beta karoten sendiri sudah terkenal sebagai zat pencegah penyakit kardiovaskular, stroke hingga kanker lho. Sedangkan kandungan flavonoid dalam salak pun berpotensi dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa manfaat salak menurut organic facts diantaranya untuk kesehatan mata, memori, jantung dan pencernaan, meningkatkan energi, membantu menurunkan berat badan, dan menyeimbangkan kadar gula darah bagi penderita diabetes. 

Nah, apakah kalian suka makan salak? Kalian termasuk tim dikupas kulit dalamnya atau tim langsung makan semuanya? Kalau saya, tak perlu kupas kulit dalamnya, langsung makan saja, hihi. 

Oh ya, baru saja saya baca artikel dari health benefits times, kalau makan salak beserta kulit dalamnya bisa mencegah konstipasi lho, silakan teman-teman mencobanya juga ya.


Sumber :
1. Snakefruit Potential to Increase Immunity, Universitas Gajah Mada
2. Salak Fruit Facts and Health Benefits, HealthBenefits Times



Photos by lailiving

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.