The Lantern of Lost Memories by Sanaka Hiiragi | Book Review

The lantern of lost memories Sanaka Hiiragi review


“I find myself wondering what it even means for me to die if I don't remember anything and nobody knows who I was.”


The Lantern of Lost Memories by Sanaka Hiiragi is a book that’s basically a therapy session for your soul, but make it aesthetic. Imagine a photography studio where the deads go to curate their best memories. Mr. Hirasaka, our resident guide, helps them pick one core memory from each year to put on a glowing lantern before they move on to the afterlife. Through three interconnected beautiful stories, this book explores grief, redemption, and why human connections are both fragile and beautiful. This book is not just about death, it’s a meditation on what makes a life worth remembering.

(The Lantern of Lost Memories oleh Sanaka Hiiragi adalah kisah yang unik dan bikin baper, tentang kehidupan, kematian, dan kenangan-kenangan yang tersimpan. Ceritanya berada di sebuah studio foto misterius yang dijalankan Pak Hirasaka. Nah, Pak Hirasaka ini unik juga, soalnya dia nggak ingat apa-apa tentang masa lalunya sendiri. Tugasnya adalah  membantu orang-orang yang sudah meninggal untuk mengulang kenangan paling berharga mereka sebelum mereka benar-benar pergi. Kalau ada yang masuk ke studio itu, mereka bisa milih kamera dan kembali ke momen spesial dalam hidup mereka buat mengabadikannya sekali lagi. Pas mereka lagi bernostalgia, mereka bakal ngerasain berbagai emosi, kayak bahagia, penyesalan, atau cinta. Nah, lewat proses itu, mereka akhirnya bisa menemukan kedamaian.)


BOOK INFORMATION

Title                       : The Lanterns of Lost Memories 

Original title        : 人生写真館の奇跡

Translator            : Jesse Kirkwood

Author                  : Sanaka Hiiragi 

Publisher             : Grand Central Publishing

Language             : English 

Length                  : 224 pages

Released               : September 17, 2024

Read                     : February 2-9, 2025

GR Rating            : 4.06

My rating            : 4.00


BOOK REVIEW 

Imagine a photography studio that’s not for Instagram pics, but for souls stuck between life and the afterlife. The Lantern of Lost Memories by Sanaka Hiiragi (translated by Jesse Kirkwood) is a dreamy, kinda haunting novel about Mr. Hirasaka, who runs a liminal-space studio where the dead show up with stacks of photos like, one for every single day of their lives. Their job? Pick one memory from each year, put it on a spinning Japanese lantern, and watch their whole life flash before their eyes (literally) before they move on to the next world. It’s that kind of vibe, equal parts beautiful and heartbreaking, which makes you low-key question which memories you’d choose.

This book splits into three stories: The Old Lady and the Bus, The Hero and the Mouse, and Mitsuru and the Last Photo, each following a different person who rolls up to Hirasaka’s studio with all the emotional baggage. There’s an old lady, a washed-up yakuza, and a kid with a seriously rough life, and Mr. Hirasaka (who’s basically the afterlife’s version of a trauma-informed therapist) helps them revisit their best and worst moments with his magic camera. He's got his own mysterious past (RIP his memory), but he’s out here guiding others while secretly hoping someone might recognize him. And the last story? Grab tissues. It’s heavy, but in that way that makes you feel something instead of just doom-scrolling.

Mixing magical realism with cozy-novel feels, this book talks about dark heavy themes (abuse, bullying, regret) without being a total downer. Mr. Hirasaka’s studio is like a vibe with warm tea, soft lighting, and a side of existential dread. The whole thing’s named after Yomotsu Hirasaka, the mythical slope to the underworld. It’s got that "what’s the point of life?" energy, but in a way that makes you wanna hug your people and cherish your core memories. Perfect for anyone who’s ever ugly-cried at a Studio Ghibli movie or stared at the ceiling at 3 AM thinking about mortality (but, like, in a chill way).

First, we meet Hatsue, a 92-year-old woman who’s just realized she’s dead, but honestly? The afterlife is kinda underwhelming for her. No floating ghosts, no creepy vibes, just sipping tea in Mr. Hirasaka’s cozy photo studio like it’s a chill café. Then comes the real task: scrolling through a lifetime of memories (IRL photo album vibes) to pick one highlight from each year. But when her favorite memory looks way more faded than she remembered, Hirasaka hits her with his confident "let’s fix your photo" energy. Cue a time-travel trip to post-war Japan, where young Hatsue’s out here fighting boomer educators to let kids play instead of making them to be quiet and obey. It’s a nostalgia bomb that will make you wanna call your grandma.

Things take a darker turn with Mitsuru and the Last Photo, think "sad girl autumn" but with a neglected kid surviving an abusive home. Then there’s The Hero and the Mouse, where a washed-up yakuza man confronts his past like a villain in a redemption arc. Heavy? Yes. But Hiiragi writes it with so much heart, you’re rooting for these broken souls like they’re your mutuals. And Hirasaka? This man is the MVP, helping everyone else heal while low-key screaming into the void about his own forgotten life. The studio’s basically a therapy place and by the end, you’ll wanna hug him and then binge-watch comfort anime to recover.

This book's got magical realism whimsy, but also "existential crisis at 2 AM" energy. The big takeaway? When you die, all that’s left are the memories you choose to keep, so make them good ones. Yeah, it’ll wreck you, but in that cathartic way that makes you text your group chat "y’all gotta read this." Perfect for anyone who’s ever ugly-cried over a book, stargazed while overthinking, or just needs a reminder that even messy lives are beautiful. 

(The Lantern of Lost Memories ini ceritanya simpel tapi dalem banget. Bayangin, ada studio foto ajaib di mana orang-orang yang sudah meninggal bisa balik lagi ke kenangan paling berharga mereka. Yang bikin keren, ceritanya nggak fokus ke momen-momen besar, tapi justru ke hal-hal sederhana kayak obrolan biasa, rutinitas sehari-hari, atau hubungan personal yang ternyata bener-bener bisa mengubah hidup seseorang. Pas baca ini, aku jadi sadar gimana kita sering banget mengabaikan momen-momen kecil kayak gitu, padahal itu lho yang sebenernya paling berarti.

Salah satu hal yang aku suka dari buku ini adalah pesannya soal gimana kita bakal dikenang. Kenangan yang kita ciptakan dan bagikan ke orang lain itu menentukan peninggalan kita. Banyak orang yang sibuk mengejar prestasi besar, karena mereka pikir itu yang bikin hidup bermakna, tapi cerita ini justru memberi tahu kita kalau makna hidup itu ada di hal-hal kecil kayak kebaikan, ketawa bareng, atau cara kita memperlakukan orang lain. Di dunia yang selalu maksa kita buat sibuk dan sukses, buku ini kayak pengingat buat kita untuk pelan-pelan menikmati momen saat ini, dan menghargai orang-orang di sekitar kita.

Meskipun ceritanya tentang kematian dan akhirat, tapi nggak bikin sedih atau berat. Malah rasanya tenang dan nyaman. Soalnya cerita ini menunjukkan kalau kematian itu bukan akhir, tapi lebih kayak lanjutan perjalanan kita lewat kenangan yang kita tinggalkan. Buku ini bikin kita mikir kalau orang-orang yang kita sayangi itu tetap hidup di hati kita, dan itu cara yang cantik banget buat melihat kehilangan dan kenangan. 

Ketika orang-orang di cerita ini balik ke kenangan paling berharga mereka, ini nggak cuma sekadar nostalgia, tapi juga kesempatan buat mereka mengerti diri sendiri lebih dalam dan menemukan akhir. Meskipun beberapa dari mereka punya penyesalan, dengan melihat masa lalu bisa membantu mereka menerima apa yang sudah terjadi dan menemukan makna di baliknya. Menurutku ini relate banget, soalnya kita semua pasti punya momen yang pengen kita ulang lagi atau kata-kata yang pengen kita ucapin tapi nggak kesampaian.

Di dunia sekarang, gampang banget kita terjebak sama kerjaan, sekolah, atau media sosial sampai lupa buat menghargai orang-orang di sekitar kita. Buku ini kayak pengingat buat kita buat mengungkapkan perasaan selagi masih ada kesempatan, entah itu bilang “aku sayang kamu”, menyelesaikan kesalahpahaman, atau sekadar hadir di momen saat ini. Buku ini bikin aku mikir, kita sering nunggu "waktu yang tepat" buat melakukan sesuatu, padahal momen yang sempurna itu mungkin nggak pernah dateng. Daripada menunda-nunda, mending kita nikmatin aja momen sekarang dan menghargai orang-orang yang ada di hidup kita.

Ketika para tokoh di cerita ini melihat lagi kenangan mereka, mereka sadar hal-hal apa yang benar-benar penting buat mereka dan gimana momen-momen itu membentuk diri mereka. Buku ini bikin kita mikir juga tentang hidup kita sendiri, momen apa yang udah mendefinisikan kita, pilihan-pilihan apa yang membawa kita ke titik ini, dan hal-hal apa yang mungkin kita lewatkan. Ini kayak pengingat kalau meskipun hidup terus berjalan, merenungkan masa lalu bisa membantu kita untuk mengerti diri sendiri lebih baik dan lebih menghargai apa yang kita punya sekarang.)


The lantern of lost memories Sanaka Hiiragi quote


THINGS I LOVE

■ The vibes are immaculate. A photography studio that’s basically purgatory’s waiting room? Where ghosts curate their best memories like a Pinterest board before crossing over? Chef’s kiss. This concept is so original it hurts, like if Studio Ghibli did a collab with a philosophy major. Folklore + magical realism + existential dread = perfection. 

■ Mr. Hirasaka = Best Sad Boy. This man is the ultimate "helping others while ignoring his own trauma" king. He’s out here playing therapist to lost souls while low-key screaming into the void about his missing memories. Not fully alive, not fully dead, just like all of us after finals week. Iconic.

■ Three stories, one emotional gut-punch. We’ve got: 1) a grandma reliving her glow-up era, 2) a yakuza with a redemption arc, and 3) a kid surviving abuse. Different struggles, same vibe check on mortality. The way they weave together? Love that. It’s like that TikTok trend where people show three parallel lives, but make it existential.

■ This book calls cap on our core memories. Turns out even our favorite moments get distorted, like when you retell a story so much it becomes fanfiction. Hirasaka’s magic camera letting people reshoot their past? Genius. 

■ Dark but make it hopeful. Yeah, it tackles heavy themes (child abuse, bullying, death), but it’s not that one friend who trauma-dumps at parties. There’s always light, like Hatsue’s grit, Waniguchi’s glow-up, or Mitsuru’s quiet strength. Proof you can cry and feel warm fuzzies.

■ Folklore = instant aesthetic. The studio’s person name (from Yomotsu Hirasaka) is literally the Japanese underworld’s back alley. The lantern ritual? Stunning. It’s tradition but make it relatable.

■ The final slap in the feels. The message? When you die, only your memories matter, not your job, money, or follower count. It’s comforting and terrifying, like realizing you’re the main character but also an NPC. Hello, identity crisis!

(■Salah satu hal yang aku suka dari buku ini adalah cara dia ngomongin tentang hidup, kematian, kenangan, dan penyesalan dengan cara yang emosional tapi nggak bikin berat banget. Meskipun buku ini mengangkat topik-topik berat kayak kekerasan anak dan bullying, semuanya dibahas dengan hati-hati dan nggak terasa dipaksakan.

■Ide soal studio foto ajaib di mana orang yang sudah meninggal bisa mengulang kenangan paling berharga mereka itu unik banget dan emosional. Aku suka gimana mereka nggak cuma menonton kenangan itu kayak film, tapi beneran bisa balik ke masa itu, ngerasain lagi, bahkan mengambil ulang foto yang blur biar momennya terabadikan dengan benar. Mereka juga bisa milih kamera yang cocok buat mereka. Ditambah lagi, ada Pak Hirasaka yang nemenin mereka selama proses itu, yang bikin semuanya terasa lebih spesial dan bermakna.

■Ngomongin soal Pak Hirasaka, dia salah satu hal favorit aku di buku ini. Dia nggak kayak mentor bijak yang kayak legenda atau tokoh besar, tapi orang biasa yang somehow malah mengelola studio misterius ini. Itu bikin dia terasa relate banget tapi tetep misterius. Ceritanya juga memberi pesan keren bahwa orang biasa pun bisa punya dampak besar buat orang lain, kadang dengan cara yang nggak pernah mereka duga. Kehadiran Pak Hirasaka di buku ini bikin kita mikir, bahkan tindakan-tindakan kecil aja bisa ngasih kenyamanan dan makna buat hidup seseorang.)


THINGS I DON'T LIKE

Can we talk about Mr. Hirasaka’s whole deal? Because when this book finally drops the truth about why he lost his memories, it low-key just made me more confused? Like, before whatever went down, he was probably just another regular soul passing through the studio, right? But instead of getting his own lantern and moving-on moment, he somehow got stuck running the place? Why him? What’s so special about this man that he’s now the afterlife’s unpaid intern? And if he wasn’t the first studio manager, who was holding down the job before him? This book just leaves us hanging with zero answers, and now my brain’s stuck in conspiracy-theory mode. Someone give this man (and me) some closure!

(Ada satu hal yang bikin aku bingung, yaitu peran Pak Hirasaka di studio foto ini. Pas buku ini akhirnya jelasin kenapa dia kehilangan ingatannya, malah bikin muncul lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Aku nebak-nebak, sebelum kejadian itu, berarti dia cuma jiwa biasa kayak orang-orang lain yang lewat studio itu. Tapi, bukannya bisa lanjut dan menonton lentera kenangannya sendiri, dia malah berakhir mengurus studio itu dan bantu orang lain. Nah, ini yang bikin aku penasaran kenapa dia kayak terjebak di sana. Apa yang bikin dia beda dari yang lain yang bisa lanjut? Terus, kalau dia bukan orang pertama yang ngelakuin peran ini, siapa dong yang mengurus studio foto ini sebelum dia? Buku ini nggak pernah benar-benar jelasin, jadi situasinya Pak Hirasaka tuh terasa agak nggak jelas.)


The lantern of lost memories Sanaka Hiiragi quote


CONCLUSION 

The Lantern of Lost Memories is a beautiful story that makes us reflect on life, death, and the importance of memories. The idea of a magical photo studio where the dead can relive their most precious moments is both creative and comforting. It reminds us to appreciate the little things in life and to express our feelings while we still have the chance. Even though I do wish the book had explained more about Mr. Hirasaka’s role, the overall story is emotional and meaningful. In the end, it leaves a message that life isn’t just about big achievements, but it’s about the moments we share and the people we love.

(The Lantern of Lost Memories adalah cerita yang indah dan bikin kita mikir tentang kehidupan, kematian, dan betapa pentingnya kenangan. Ide soal studio foto ajaib di mana orang yang sudah meninggal bisa mengulang momen-momen berharga mereka itu kreatif banget dan bikin hati adem. Ceritanya juga ngingetin kita buat lebih menghargai hal-hal kecil dalam hidup dan mengungkapkan perasaan selagi masih ada kesempatan. Meskipun aku agak penasaran pengen tahu lebih banyak soal peran Pak Hirasaka, secara keseluruhan ceritanya emosional dan penuh makna. Intinya, buku ini memberi pesan kalau hidup itu nggak cuma tentang pencapaian-pencapaian besar, tapi lebih ke momen-momen yang kita bagi sama orang-orang yang kita sayang.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.