Days at the Morisaki Bookshop by Satoshi Yagisawa | Book Review

 


Days at the Morisaki Bookshop is a heartwarming story set in Japan, specifically in Jimbocho district renowned for its bookstores. The story revolves around Takako, a 20-something woman who experiences a devastating heartbreak when her boyfriend announces his engagement to another woman. This causes her to leave her promising job and emotional turmoil plunges her into a deep depression.

Amidst her despair, Takako's distant uncle offers her an opportunity for a fresh start. She moves to the Jimbocho neighborhood to assist him in running a small, secondhand bookstore that has been in their family for generations. Initially, the bookstore feels like a prison to her, but as she becomes entwined with the lives of customers and neighbors, she discovers a new perspective on life.

(Days at the Morisaki Bookshop adalah kisah heartwarming yang berlatar di Jepang, khususnya di distrik Jimbocho yang terkenal dengan toko-toko bukunya. Kisah ini berkisah tentang Takako, seorang wanita berusia 20-an yang mengalami patah hati ketika pacarnya mengumumkan pertunangannya dengan wanita lain. Hal ini menyebabkan dia meninggalkan pekerjaannya yang menjanjikan dan gejolak emosi menjerumuskannya ke dalam depresi berat.

Di tengah keputusasaannya, paman jauh Takako menawarkannya kesempatan untuk memulai awal yang baru. Dia pindah ke wilayah Jimbocho untuk membantunya menjalankan toko buku bekas kecil yang telah menjadi milik keluarga mereka selama beberapa generasi. Awalnya, toko buku ini terasa seperti penjara baginya, namun saat dia terlibat dengan kehidupan para pelanggan dan tetangga, dia menemukan perspektif baru tentang kehidupan.)


BOOK INFORMATION

Title                       : Days at the Morisaki Bookshop 

Original title        : 森崎書店の日々

Author                  : Satoshi Yagisawa

Translator           : Eric Ozawa

Publisher             : Manila Press

Language             : English 

Length                  : 162 pages

Released               : July 4, 2023

Read                     : September 9 - 12, 2023

GR Rating            : 3.63

My rating            : 3.75


BOOK REVIEW 

Days at the Morisaki Bookshop is a story about emotional healing through the transformative power of books. At the outset of the story, Takako, the protagonist, is reeling from a devastating heartbreak that leaves her in the depths of despair. However, it is within the cozy confines of her uncle's bookshop that Takako embarks on a journey of healing. The novel beautifully illustrates how literature becomes her refuge, mending the emotional wounds that once seemed insurmountable.

As Takako delves deeper into the world of books, she discovers not only solace but also the profound connections and companionship that can be found in the company of fellow readers. The bookshop becomes a haven where like-minded individuals gather, forming a supportive community. Through her interactions with customers and colleagues, Takako not only heals but also learns that shared experiences and shared stories have the power to mend broken hearts.

One of the most enchanting aspects of the novel is the portrayal of secondhand books as treasures laden with history and untold stories. The pages of these old, well-loved books bear the marks of previous readers—underlined passages, pressed flowers, and handwritten notes. This magical quality infuses the bookstore with an aura of wonder, where every book holds a unique narrative. The story captures the essence of these books as bridges between past and present, emphasizing the enduring charm of literature.

Beyond the theme of emotional healing, the novel delves into the intricate dynamics of family relationships. Takako's journey unfolds not only within the bookshop but also within the framework of her familial bonds. Her connection with her uncle and the rekindling of his relationship with his estranged wife are explored with depth and sensitivity. The narrative demonstrates how time and shared experiences can mend and transform familial connections.

At its core, Days at the Morisaki Bookshop is a story of self-discovery. Takako's immersion in the world of books prompts her to reevaluate her life, values, and aspirations. Through the pages of literature, she finds her own path forward, and her journey of self-discovery is both relatable and inspiring.

(Days at the Morisaki Bookshop adalah kisah tentang penyembuhan emosional melalui kekuatan transformatif buku. Di awal cerita, Takako, sang protagonis, belum pulih dari patah hati yang membuatnya semakin putus asa. Namun, di dalam toko buku pamannya yang nyaman, Takako memulai perjalanan penyembuhan. Novel ini dengan indah menggambarkan bagaimana sastra menjadi tempat perlindungannya, yang menyembuhkan luka emosional yang dulunya tampak tidak dapat diatasi.

Saat Takako menggali lebih dalam dunia buku, dia tidak hanya menemukan hiburan tetapi juga hubungan mendalam dan persahabatan yang dapat ditemukan bersama rekan-rekan pembaca. Toko buku menjadi surga tempat berkumpulnya orang-orang yang berpikiran sama, yang membentuk komunitas yang mendukung. Melalui interaksinya dengan para pelanggan dan kolega, Takako tidak hanya mengalami penyembuhan tetapi juga belajar bahwa berbagi pengalaman dan cerita memiliki kekuatan untuk menyembuhkan patah hati.

Salah satu aspek yang paling menarik dari novel ini adalah penggambaran buku-buku bekas sebagai harta karun yang sarat dengan sejarah dan kisah yang tak terhitung. Halaman-halaman dari buku-buku tua yang sangat dicintai ini memiliki karakteristik pembaca sebelumnya—bagian-bagian yang digarisbawahi, bunga yang dipres, dan catatan dalam tulisan tangan. Kualitas ini memberikan aura keajaiban pada toko buku, di mana setiap buku menyimpan kisah yang unik. Cerita ini menangkap esensi buku-buku ini sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, yang menekankan daya tarik sastra yang abadi.

Di luar tema penyembuhan emosional, novel ini menggali dinamika rumit hubungan keluarga. Perjalanan Takako terungkap tidak hanya di toko buku tetapi juga dalam kerangka ikatan kekeluargaannya. Hubungannya dengan pamannya dan kembalinya hubungan pamannya dengan istrinya dieksplorasi dengan mendalam dan sensitif. Narasinya menunjukkan bagaimana waktu dan pengalaman bersama dapat memperbaiki dan mengubah hubungan keluarga.

Pada intinya, Days at the Morisaki Bookshop adalah kisah penemuan jati diri. Keterlibatan Takako dalam dunia buku mendorongnya untuk mengevaluasi kembali kehidupan, nilai-nilai, dan impiannya. Melalui halaman-halaman buku, dia menemukan jalannya sendiri untuk maju, dan perjalanan penemuan jati dirinya ini sangat menarik dan menginspirasi.)


THE FAVORITES

■Relatable themes: The book touches on themes that resonate universally. Heartbreak, self-discovery, and the pursuit of authenticity are experiences that people from all walks of life can relate to. This universality allows readers to connect with the story on a personal level, making it accessible and emotionally engaging.

■Cozy and comforting atmosphere: The novel's ability to create a cozy and heartwarming atmosphere is one of its most endearing qualities. It invites readers into a world where simple joys and human connections take center stage. This comforting ambiance envelops the reader, providing solace and a sense of belonging within the pages of the book.

■Rich and immersive setting: The backdrop of the Jimbocho district in Japan, renowned for its bookshops, adds depth and richness to the narrative. This real-life setting allows readers to not only imagine but also explore the physical locations mentioned in the story. 

■Charm of secondhand books: The novel's focus in the secondhand books as repositories of history and connection resonates with readers. These books, with their annotations, inscriptions, and bookmarks left by previous readers, serve as tangible reminders of the human connections that transcend time. Takako's encounters with these artifacts emphasize the enduring power of literature to unite people across generations.

■Exploration of Japanese literature: The book introduces readers to Japanese authors and their works, such as Osamu Dazai. Through Takako's journey into reading, it not only provides a glimpse into the world of Japanese literature but also encourages readers to explore this rich literary culture. 

■Embracing imperfections: The novel's embrace of imperfections, both in secondhand books and in its characters, reflects a profound theme. It highlights the beauty found in life's imperfections and reinforces the idea that even well-worn books and flawed individuals hold immense value. This theme of embracing imperfections extends to the characters, who, despite their flaws, discover healing, growth, and beauty within themselves and their connections with others.

(■Tema yang relevan: Buku ini menyentuh tema-tema yang beresonansi secara universal. Patah hati, penemuan jati diri, dan pencarian kebenaran adalah pengalaman yang dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat. Universalitas ini memungkinkan pembaca untuk terhubung dengan cerita pada tingkat personal, yang menjadikannya mudah diakses dan menarik secara emosional.

■Suasana nyaman dan menenangkan: Kemampuan novel untuk menciptakan suasana nyaman dan menghangatkan hati adalah salah satu kualitasnya yang paling menarik. Buku ini mengundang pembaca ke dunia di mana kegembiraan sederhana dan hubungan antarmanusia menjadi pusat perhatian. Suasana nyaman ini menyelimuti pembaca, memberikan kenyamanan dan rasa memiliki di dalam halaman-halaman bukunya.

■Latar yang kaya dan imersif: Latar belakang distrik Jimbocho di Jepang, yang terkenal dengan toko-toko bukunya, menambah kedalaman dan kekayaan narasinya. Latar kehidupan nyata ini memungkinkan pembaca tidak hanya berimajinasi tetapi juga menjelajahi lokasi fisik yang disebutkan dalam cerita.

■Pesona buku bekas: Fokus novel pada buku bekas sebagai gudang sejarah dan koneksi beresonansi dengan pembaca. Buku-buku ini, dengan anotasi, tulisan tangan, dan penanda yang ditinggalkan oleh pembaca sebelumnya, berfungsi sebagai pengingat nyata akan hubungan antarmanusia yang melampaui waktu. Pertemuan Takako dengan hal-hal ini menekankan kekuatan abadi sastra dalam menyatukan manusia lintas generasi.

■Eksplorasi sastra Jepang: Buku ini memperkenalkan pembaca kepada para penulis Jepang dan karya mereka, seperti Osamu Dazai. Melalui perjalanan Takako dalam membaca, tidak hanya memberikan gambaran sekilas tentang dunia sastra Jepang tetapi juga mendorong pembaca untuk mengeksplorasi budaya sastra yang kaya tersebut. 

■Menerima ketidaksempurnaan: Penerimaan novel terhadap ketidaksempurnaan, baik melalui buku bekas maupun para karakternya, mencerminkan tema yang mendalam. Hal ini menyoroti keindahan yang ditemukan dalam ketidaksempurnaan hidup dan memperkuat gagasan bahwa buku-buku lama dan orang-orang yang memiliki kekurangan pun memiliki nilai yang sangat besar. Tema menerima ketidaksempurnaan ini meluas ke para karakternya yang meskipun memiliki kekurangan, dapat menemukan penyembuhan, pertumbuhan, dan keindahan dalam diri mereka sendiri dan hubungan mereka dengan orang lain.)


THE DRAWBACKS

■Slower pacing in the second part: The transition from a focus on the bookshop and the joy of reading to Takako's aunt's storyline in the second part of the book led to a noticeable change in pacing. This shift in focus from the bookshop's vibrant atmosphere and its interactions with various visitors to Takako's aunt's mysterious behavior may have felt slower and less engaging. The initial charm of the bookshop and its literary connections might have been somewhat lost in the second part, impacting the overall reading experience.

■Resolution of aunt's storyline: In contrast to the depth and development seen in the first part of the book, the second part's resolution of Takako's aunt's mysterious behavior might have felt rushed or lacking in depth. This abrupt resolution could potentially leave readers wanting more closure or a more gradual exploration of the aunt's storyline, which could have maintained the balance established in the first part.

(■Pacing yang lebih lambat di bagian kedua: Peralihan dari fokus pada toko buku dan kegembiraan membaca ke alur cerita mengenai Takako di bagian kedua buku ini menyebabkan perubahan tempo yang nyata. Peralihan fokus dari suasana toko buku yang hidup dan interaksinya dengan berbagai pengunjung, menuju perilaku misterius bibi Takako mungkin terasa lebih lambat dan kurang menarik. Daya tarik awal toko buku dan koleksi sastranya mungkin agak hilang di bagian kedua, sehingga berdampak pada pengalaman membaca secara keseluruhan.

■Resolusi alur cerita bibi: Berbeda dengan kedalaman dan perkembangan yang terlihat di bagian pertama buku ini, resolusi bagian kedua mengenai perilaku misterius bibi Takako mungkin terasa terburu-buru atau kurang mendalam. Resolusi yang tiba-tiba ini berpotensi membuat pembaca menginginkan penyelesaian lebih lanjut atau eksplorasi alur cerita bibi secara lebih merata, yang bisa menjaga keseimbangan yang ada di bagian pertama.)


CONCLUSION

Days at the Morisaki Bookshop is an exploration of the healing power of books and the solace they provide in times of emotional turmoil. The relatable themes of heartbreak, self-discovery, and the quest for authenticity make it accessible to a broad audience. Its cozy and comforting atmosphere, set against the backdrop of the enchanting Jimbocho district in Japan, immerses readers in a world where simple joys and connections take center stage. The focus on secondhand books and the connections they carry, along with the exploration of Japanese literature, adds depth to the narrative. However, the slower pacing in the second part of the story and the shift in focus from the bookshop to Takako's aunt may leave some readers wanting more. Despite these minor drawbacks, the novel ultimately delivers a heartwarming tale of finding beauty in imperfections and forging connections that transcend time. It encourages us to embrace the healing power of literature and the journey of self-discovery, making it a worthwhile read for book lovers and seekers of solace alike.

(Days at the Morisaki Bookshop adalah eksplorasi tentang kekuatan penyembuhan dari buku dan pelipur lara yang diberikannya di saat gejolak emosi. Tema-tema yang berkaitan tentang patah hati, penemuan diri, dan pencarian kebenaran membuatnya dapat diakses oleh pembaca dari berbagai kalangan. Suasananya yang nyaman dan menenangkan, dengan latar belakang distrik Jimbocho yang mempesona di Jepang, membawa pembaca ke dalam dunia di mana kegembiraan dan koneksi sederhana menjadi pusat perhatian. Fokus pada buku bekas dan koneksi yang mereka bawa, serta eksplorasi sastra Jepang, menambah kedalaman narasinya. Namun, tempo yang lebih lambat di bagian kedua dan pergeseran fokus dari toko buku ke bibi Takako dapat membuat beberapa pembaca menginginkan lebih. Meskipun terdapat kekurangan kecil, novel ini pada akhirnya memberikan kisah yang heartwarming tentang menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan dan menjalin hubungan yang melampaui waktu. Buku ini mendorong kita untuk menerima kekuatan penyembuhan dari sastra dan perjalanan penemuan jati diri, yang menjadikannya bacaan yang bermanfaat bagi para pecinta buku dan pencari hiburan.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.